Rabu, 29 Oktober 2008

Hukum mengkhitbah Tunangan Orang Lain

Seorang laki-laki diharamkan untuk meminang perempuan yang telah dipinang oleh laki-laki lain karena hal itu melanggar hak laki-laki yang memidang sebelumnya sekaligus akan melukai perasaannya. Perbuatan itu dapat menimbulkan perpecahan dan perseteruan di antara mereka.

Uqbah bin Amir r,a, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang mukmin itu bersaudara dengan mukmin yang lain. Karena itu, ia tidak diperbolehkan untuk membeli barang yang sudah ditawar oleh saudaranya dan tidak diperkenankan untuk meminang pinangan saudaranya hingga saudaranya itu meninggalkannya (memutuskan pertunangannya) (HR Muslim, Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi)

Larangan tadi berlaku apabila perempuan atau walinya sudah menerima lamaran laki-laki pertama secara tegas dan jelas.

Dalam hal ini, khitbah boleh dilakukan oleh laki-laki kedua apabila memenuhi beberapa hal berikut:

Pihak perempuan sudah menolak khitbah laki-laki yang pertama atau menjawabnya dengan sindiran, misalnya dengan mengucapkan, “Aku tidak membencimu.”
Laki-laki kedua tidak mengetahui adanya khitbah laki-laki pertama.
Pihak perempuan belum memberi kepastian kepada laki-laki pertama, apakah menerima atau menolak lamarannya.’
Laki-laki pertama telah memberikan izin kepada laki-laki kedua.

Syafii meriwayatkan hadits bahwa ketika seorang laki-laki meminang seorang perempuan dan perempuan itu menerima pinangannya, maka tak seorang pun berhak meminang pinangannya (perempuan tadi). (HR Tirmidzi)

Apabila laki-laki yang ingin meminang tidak mengetahui jawaban perempuan tadi atas pinangan laki-laki pertama, maka ia boleh meminangnya. Tetapi apabila ia meminang setelah perempuan tadi menerima pinangan laki-laki pertama, maka ia telah berdosa.

Jika kemudian mereka menikah, pernikahan itu sah secara syara’ karena larangan tadi berlaku dalam hal khitbah dan bukan termasuk syarat sahnya pernikahan. Karena itu, pernikahan tersebut tidak perlu dibatalkan.

Tetapi Dawud berpendapat lain, “Apabila peminang kedua menikahi perempuan tadi, maka pernikahan harus dibatalkan baik sebelum maupun sesudah melakukan hubungan.”

Wallahu alam bish shawwab,

Information From Dikutip dari buku Fiqih Sunnah jilid 2 karya Sayyid Sabbiq bab “Khitbah” hlm 327.

Tidak ada komentar: