Rabu, 22 Oktober 2008

Membaca Film Politik Merenung Industri Hiburan

Membaca Film Politik Merenung Industri Hiburan

Film dan politik mempunyai kaidah dan otonomi sendiri-sendiri. Wujud dan fungsinya bagi kita berbeda dan masing-masing mempunyai jelajah wilayahnya sendiri. Soal film pada umumnya soal”kebagusan” layaknya sebuah seni, sedang politik adalah soal “survival”, baik pribadi atau kelompok dalam cara mengatur kelangsungan hidup bermasyarakat.

Dalam tulisan ini tentu tidak merinci mempermasalahkan atau menguak masing-masing ciri dan manfaatnya, hanya sekedar membaca film-film yang mengangkat realita kehidupan politik yang banyak anggapan orang itu sebuah “permainan kuasa”. Tidak jarang suatu pemerintahan terganggu hanya oleh sebuah film (seni), sehingga perlu mengeluarkan “fatwa”.

Pada tahun 1982, pemerintah Amerika terusik oleh film Missing, sehingga saat itu departemen dalam negeri Amerika perlu menyiarkan pernyataan keras, bahwa pemerintah tidak tahu menahu tentang kematian penulis freelance, Charles Horman di tengah gejolak kudeta di Chili. Dalam kesempatan itu pejabat depnagri AS juga menanyakan tentang kejujuran film itu.

Film Missing yang dibintangi oleh Jack Lemmon dan Sissy Spacek, karya Costa Gavras. Sebagaimana spesifikasi film-film Gavras yang tanpa sebuah inisial Negara. Hanya penonton yang biasa membaca yang mampu menangkap latar kejadian itu.

Kisah film itu, penulis freelance Charles Horman tiba-tiba lenyap di tengah chaos politik pemerintahan Salvador Allende yang dikudeta militer. Mayat Horman ditemukan oleh keluarga sebulan kemudian di rumah jenasah. Disinyalir terbunuhnya Horman sepengetahuan kedutaan Amerika di Santiago-Chili, karena kebetulan Horman mengetahui keterlibatan pemerintah AS terhadap penumbangan pemerintahan Allende.

Gavras, sang sutradara yang dikenal kontraversial itu, dalam gagasan filmnya senantiasa mengangkat sedekat mungkin sebuah kebenaran bahwa “wilayah” politik selalu tidak luput memakan korban. Menurutnya semacam peringatan bagi pemaegang kekuasaan. Ia seakan tidak percaya konsep pembenaran hitam-putih yang biasa ditampilkan pada sebuah film (seni).

Seperti halnya dalam film Z, Gavras berani menunjukaan kepeduliannya pada realita permainan kuasa, yakni seorang anggota parlemen Yunani juga menjadi korban chaos kudeta. Film ini telah membawa Gavras menjadi sutradara terbaik (1969) versi New York Film Critic. Kepeduliannya pada politik memang sangat kental tertuang dalam karya. Keburukan wajah pengadilan di Praha Chekoslovakia dituangkan dalam karya The Confenssion (1970). Kisah penculikan dan pembunuhan Don Mintrione (penasehat polisi Amerika di Uruguay) dalam film State of Siege, tahun 1973. Sedang tahun 1975 lewat film Special Section, mengungkap pemerintahan Vichy, Perancis yang ternyata berkalaborasi dengan Nazi.

Begitulah seorang Gavras mendesain film-filmnya senantiasa seolah-olah merasa “mengganggu” tidak hanya negerinya Amerika, tapi sebuah kawasan bisa dimanapun. Lain dengan sutradara Inggris pemenang Oscar 1982, Richard Attenborough, mendesain film politik apartheid Cry Freedom. Film yang menyiratkan ketidakberdayaan kekuatan senjata melawan kedasyatan sebuah kekuatan tanpa senjata, rakyat.

Sebagaimana seni, film produk kreativitas seorang manusia (seniman) tidak bisa terlepas hidup kesehariannya yang selalu berhadapan dengan problem-problem politik yang berimbas kepada masalah sosial, ekonomi dan budaya. Atau sebaliknya justru kekuatan kreativitas mereka menjadi komoditas ekonomik yakni industri dengan kemasan khas seni film, dengan ekspresi diwilayah sensitivitas otoritas kekuasaan sekalipun.

Sekelumit membaca film-film yang mengangkat soal politik karya Gavras, Attonborough mapun Oliver Stone dengan JFK dan Wall Stret nya. Membuat saya merenung dan menerawang dalam ruang asset industri negeri ini, terutama industri hiburan. Bisakah seni (film) sebagai sebuah industri hiburan dinegeri kita ini mampu “bicara” (nggak usah kompetisi) di arena industri perfilman dunia (katakan barat). Seperti karya-karya film produk kawasan negeri asia. Sederet sineas China yang menembus “tradisi’ industri perfilman Eroapa dan AS, Zhang Yimao, Kar-Wai Wong dan yang terakhir Ang Li sutradara kelahiran Taiwan mampu menyingkirkan Goorge Cloneey, sebagai the best director di tengah kancah festival film Inggris 2006. Maestro film Jepang Almarhum Akira Korusawa karya-karyanya bisa nembus Warner Bros. Atau sineas dari negeri yang pernah hancur karena peperangan, Vietnam, yakni Tranh Ann Hung dengan karya film Scent Green Pepaya mampu nembus nominasi Oscar 1994 dan penghargaa Sinematografi terbaik Cannes 1993.

Sedang produk kreator film negeri kita, -walau pun, Daun di Atas Bantal hanya di putar sebagai pendatang di Cannes Perancis. Harapan masih bertumpu pada pembuatnya yakni sosok Garin walaupun masih bisa dikatakan sebagai “lobby cultural”. Belum sebagai lobby bisnis industrial hiburan, betapapun lobby cultural itu sebagai langkah awal. Sungguhpun dia pasti tidak mau dikatakan dialah perintisnya. Itu menunjukan sebuah kerendahan hati seorang kreator film. Bukan sekedar seorang “artis” sinetron yang biasa menyebut untuk membagakan dirinya sebagai public figur. Semoga saja tidak bagi pelaku bisnis di negeri tercinta ini.



Information From

Tidak ada komentar: