Senin, 27 Oktober 2008

PARADIGMA TQM

Sebenarnya terdapat banyak sistem manajemen mutu lain yang dapat diterapkan oleh perusahaan-perusahaan untuk mengendalikan mutu produknya. Diantaranya adalah Management By Objective (MBO) dan Management By Exception (MBE). MBO menitikberatkan pada peran individual Manager untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan. MBO merupakan suatu sistem manajemen mutu yang dominan dipakai oleh perusahaan-perusahaan AS. Sementara MBE menekankan pada analisa terhadap variabel-variabel tertentu seperti biaya, mutu, atau volume yang menyimpang dari yang telah direncanakan. MBE juga merupakan suatu sistem manajemen umum yang lazim dipakai di AS.

Perbedaan yang nyata antara TQM dengan sistem manajemen mutu yang lain adalah bahwa TQM menitikberatkan pada keterlibatan semua individu organisasi untuk mencapai suatu sasaran mutu. Ada 5 manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan TQM yaitu: Produk yang dihasilkan bermutu tinggi (Quality), biaya yang efisien (Cost), waktu pengiriman yang tepat (Delivery), semangat kerja yang tinggi (Morale), dan lingkungan kerja yang aman (Safety). Kelima manfaat itu lebih populer dikenal dengan istilah QCDMS.

Salah satu pola pendekatan TQM adalah dengan menggunakan pendekatan paradigma. Paradigma adalah suatu kumpulan ide-ide, biasanya tidak tertulis, yang telah dipelajari melalui pengalaman dan mendefinisikan suatu aturan yang alamiah. Suatu paradigma berlaku sebagai saringan mental, yang merupakan batasan dalam berfikir tentang segala sesuatu melalui penjabaran kondisi-kondisi pembatas yang biasanya berlebihan daripada kenyataan sesungguhnya (imagineering). Hal-hal dibawah ini adalah beberapa contoh paradigma yang terlihat benar pada waktu tertentu, namun pada tahun-tahun selanjutnya tidak bisa lagi diterima kebenarannya karena kesalahan-kesalahan dari paradigma-paradigma tersebut muncul ke permukaaan:

Kereta tanpa kuda biasa adalah suatu kemewahan bagi orang kaya; hal itu tidak akan, tentunya, menjadi suatu barang yang umum seperti sepeda.

Literacy Digest, tahun 1889.

Saya pikir terdapat pasar dunia bagi sekitar 5 jenis komputer.

Thomas J. Watson, Chairman of IBM, tahun 1943.

Tidak ada alasan untuk setiap individu untuk memiliki komputer di rumah.

Ken Olsen, President of Digital Equipment Corp., tahu 1977.

Pada masa sekarang ketiga paradigma diatas tidak bisa lagi diterima sebagai suatu kebenaran umum. Dilain pihak, sampai beberapa waktu yang lalu, paradigma-paradigma yang masih digunakan oleh sebagian besar Manager bisnis adalah sebagai berikut:

  • Orang tidak suka bekerja, mereka bekerja hanya untuk uang.
  • Hanya sebagian kecil orang yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri.
  • Tugas manajemen adalah menjaga kemudahan bekerja dan mengawasi secara ketat.
  • Hanya jika dikontrol secara ketat, maka orang-orang akan bekerja sesuai standar.
  • Jika pekerja diperlakukan secara baik dan adil, maka mereka akan menghormati wewenang atasannya.
  • Untuk menjamin mutu, produk harus diperiksa dan penyimpangan yang terjadi dikerjakan ulang.
  • Hasil akhir adalah apabila pelanggan membeli barang yang ada.

Paradigma-paradigma di atas merupakan landasan budaya mutu “kuno”. Konsep dasar, tentunya dengan prinsip pemeriksaan untuk kesesuaian, identifikasi cacat, dan pembagian tanggungjawab untuk setiap penyimpangan yang terjadi, sangatlah tidak sesuai - sebab hal di atas bertumpu pada pengukuran produk dan bukan pada perbaikan proses. Dengan menggunakan TQM, suatu paradigma baru akan berlaku sebagai berikut:

  • Semua aktivitas didasarkan pada kepercayaan bahwa pelanggan yang paling utama.
  • Semua kemampuan diarahkan untuk mencapai suatu perbaikan mutu yang berkesinambungan.
  • Usaha yang sedang berlangsung dilakukan untuk menghilangkan pemborosan, dengan definisi pemborosan adalah siklus barang terbuang (scrapping), pengerjaan ulang (rework), pemeriksaan ulang, penulisan ulang, analisa ulang dan perancangan ulang.
  • Diasumsikan bahwa orang bekerja bertujuan ingin berkontribusi, bahwa mereka berlaku seperti sumber yang tidak terencana, dan bahwa suatu cara harus ditemukan untuk memanfaatkan sumber tersebut.
  • Iklim kerja yang ideal adalah suatu lingkungan yang memungkinkan setiap orang berkontribusi pada perbaikan yang berkelanjutan.

Paradigma baru membutuhkan kita untuk berfikir secara berbeda tentang dasar-dasar pelanggan dan mengembangkan suatu kerjasama dengan pelanggan. Paradigma baru membutuhkan perubahan pendekatan yang kita lakukan dengan cara sebagai berikut:

  1. Dari satu usaha memperbaiki cacat dan penyimpangan, menjadi satu usaha memantapkan proses dan prosedur yang akan mencegah cacat.
  2. Dari satu cara menggunakan inspeksi untuk “memperbaiki” mutu produk, menjadi satu cara menggunakan konsensus untuk “mendesain dan membangun” mutu produk.
  3. Dari satu cara penerimaan tingkat cacat sebagai kegiatan normal, menjadi satu budaya yang mantap dari perbaikan yang berkelanjutan pada proses.
  4. Dari satu mentalitas menang-kalah (win-lose) yang berakibat “pemerahan” terhadap pemasok, menjadi pendekatan menang-menang (win-win) yang berakibat saling percaya dan kerjasama dengan pemasok

Cara TQM dalam menjalankan bisinis harus melibatkan suatu perubahan cara berfikir dari “Jika tidak rusak, jangan mengadakan perbaikan”, menjadi “Jika tidak sempurna, lanjutkan untuk terus memperbaikinya”.

IF IT AIN’T BROKE DON’T FIX IT è IF IT AIN’T PERFECT CONTINUE TO IMPROVE IT

Kebanyakan kita sudah dikondisikan untuk hanya bekerja jika ada permasalahan, padahal ini merupakan sikap negatif. Pendekatan TQM meliputi persamaan berikut:

Perbaikan mutu = Perbaikan produktivitas = Hasil perbaikan bottom-line

Kebanyakan dari kita telah dibentuk untuk percaya bahwa produktivitas dipengaruhi oleh hasil-hasil lini paling rendah (bottom-line). Sedangkan, asumsi “Mutu = Produktivitas” adalah suatu konsep baru, dan sejumlah orang sukar untuk mengerti konsep tersebut, tetapi untuk menerima konsep TQM, setiap orang harus percaya bahwa “Perbaikan Mutu = Perbaikan Produktivitas”.

Salah satu CEO yang masuk Fortune 500 menceritakan bahwa ia mengetahui bahwa pekerja-pekerjanya mencapai realisasi yang baik selama pertemuan dengan direktur ketika orang-orang mulai mendiskusikan tentang mutu. Diskusi ini kemudian menjadi sangat hidup, sedangkan masalah “Jumlah” tidak didiskusikan lagi.



Information From

Tidak ada komentar: