Selasa, 28 Oktober 2008

TAK CUKUP HANYA CINTA

Sebuah cerpen dari Bunda Naila

"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?", sebuah pertanyaan tiba-tiba
mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir
Qur'an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha
tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin
datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama
yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan
majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami
masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji
seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena
sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.

"Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi
sendiri", jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan
diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. "Seneng ya dhek bisa datang
ke pengajian ba reng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas
Bimo menghadiri majelis-majelis taklim", raut muka Mbak Artha tampak
sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat
bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya
aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan
menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa
aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku
bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku
dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus
banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam
manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan
Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.

"Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita
ngobrol-ngobrol dulu", tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak
papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama
nggak ngobrol-ngobrol" , jawabku sambil menuju salah satu bangku di
halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.

Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita.
Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama
Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.

"Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran
selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama
berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak
Artha mulai bertutur. "Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun
juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami
adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami
berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya
ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur
kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong
dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami
jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah
ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus
segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar
inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah".

"Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?" , tanyaku
penasaran. "Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk
urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh.
Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat
perbuatanku sendiri"

"Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai
sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti
kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali
tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas
Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal
agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh
nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan
juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang
target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya
baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

Aku perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik.
Rasa penasaran dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku
kenal sekarang adalah tipikal wanita sholehah, berhijab rapi, tutur
kata lembut, tilawahnya bagus dan smangatnya luar biasa. Benar-benar
jauh dari profil yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah,
bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga. Mungkin bertolak
dari minimnya pengetahuan agama, akhirnya mbak Artha berusaha keras
untuk meng-up grade diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh
menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana bunga yang sedang tumbuh di
musim semi, tapi siapa sangka ternyata indahnya bunga itu tak lain
karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.

Rupanya harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama
sang suami tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi
katalisator dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz
Amma nya belum bertambah, tilawah Al Qur'an-nya masih belum ada
perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand
Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin menyita
waktu dan perhatiannya. Masih syukur bisa mengahabiskan weekend
bersama Mbak Artha dan Raihan anak semata wayang mereka, kadang
weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau meeting dan lain-lain. Tidak
ada waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus bersama bahkan
sholat berjama'ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.

Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang
ustad berkata "Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat
berjam'ah antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan
ayat-ayat Allloh akan didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya"

"Dhek....", suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya
masih denger kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang
amal buat mbak Artha", jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang
lagi ngelamun.

"Pada awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas
Bimo juga memiliki keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam
pengetahuan kami terhadap Islam. Aku cukup gembira ketika mas Bimo
menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya,
smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat.
Sempat miris hati ini ketika suatu saat aku meminta beliau menjadi
imam dalam sholat magrib.

Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata. Aku
baru tau bahwa dia belum pernah khatam Qur'an. Harusnya kan suami itu
imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.

"Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya
suami itu adalah Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika
sang pemimpin saja belum memiliki bekal yang cukup untuk menjadi
seorang pemimpin?", suara mbak Artha mulai bergetar.

"Terkadang aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua
nggak mungkin terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca
Al-qur'an.

Aku juga merindukan sholat berjama'ah dimana suami menjadi imannya
sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini
berlebihan dhek?", tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.

"Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki
diri terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati
supaya tidak menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan
menggurui. Aku mulai rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba
sekuat tenaga untuk sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan tilawah
qur'an setelah sholat subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan
tahajud serta menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu
kulakukan, dengan harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap
sekali dia terpacu dan semangat, melihat istrinya bersemangat" , papar
mbak Artha dengan suara yang agak tinggi.

"Tapi sampai detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku seperti
orang yang berjalan sendiriian. Tertatih, jatuh bangun berusaha
menggapai cinta Alloh. Aku butuh orang yang bisa membimbingku menuju
surga. Dan harusnya orang itu adalah Mas Bimo, suami ku"

Kurangkul pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan
semuai harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang
dan mulai melanjutkan ceritanya.

"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari
cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera
rumah tangga kami belum pernah diterpa badai besar, semuanya berjalan
lancar. Sampai disuatu saat mbak mulai menyadari sepertinya bahtera
kami telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus
kehidupan yang smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak
jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan,
kemesraan, ungkapan sayang yang dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo
sedikit demi sedikit terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan
yang lebih parahnya lagi, unsur religi sama sekali tak pernah di
sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi Qowam sebagai pemimpin
dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta, terabaikan.
Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan menggapai
sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari
pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering", suara mbak
Artha mulai bergetar kembali.

Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata
ketenangan rumah tangga mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap
saat bisa membakar hangus semuanya. Hanya karena satu hal, yaitu
alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau mungkin juga
adanya ketidaksamaan visi atau tujuan saat awal menikah dulu. Bukankan
tujuan kita menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan setengah agama.
Idealnya, setelah menikah keimanan, ibadah kita makin meningkat.
Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau mentor bagi istri,
atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih berilmu tidaklah
masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan
menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta
dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa
kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.

Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta.

Pernikahan merupakan hubungan secara emosional yang harus ditumbuhkan
dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan
puncak kenikmatan sebuah pernikahan bukanlah dicapai melalui penyatuan
fisik saja melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual.
Pernikahan adalah sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk
mempelajari karakter pasangan ataupun untuk meng upgrade diri
masing-masing.

"Dhek Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah
mau jadi kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil
tersenyum.

"Mbak yakin dhek Lia bisa dipercaya, do'akan supaya aku diberikan
jalan yang terbaik sama Alloh".

Aku pun tersenyum, "Insyaalloh mbak, maksih juga dah mau sharing
masalah ini dengan saya. Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari
cerita mbak. Saya masih harus banyak belajar soal kehidupan berumah
tangga mbak.

Jazakillah".

Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan
dhuhur, mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid
untuk sholat dhuhur berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi.
"Mas aku kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet
pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala" ***

Information From

Tidak ada komentar: