Jumat, 28 November 2008

Arti Sebuah Kegagalan

"Adalah mudah untuk bersenang hati
Ketika hidup kita mengalir seperti sebuah lagu
Tetapi yang patut dihargai adalah mereka yang bisa tersenyum,
Walaupun semuanya berjalan salah
Karena ujian hati adalah kesulitan,
Dan ini selalu datang sepanjang masa kehidupan.
Dan senyuman yang patut diberi pujian
Adalah senyuman yang bersinar melalui mengalirnya air mata"

Penyair Ella Wheeler Wilcox tahu betul bahwa kesulitan tidak pernah
memandang umur. Entah berumur 7, 17, atau 70 tahun, kita dapat memastikan
datangnya saat-saat mendung dalam kehidupan kita.

"Di balik kesulitan pasti ada kemudahan," demikian firman Allah dalam QS
Alam Nasyrah [94] ayat 6. Tidak ada mendung dan badai yang berkepanjangan,
karena hari cerah pasti datang sesudahnya.

Namun banyak orang yang tidak bisa melalui hari-hari sulit seperti, tidak
lulus ujian, terkena PHK, perceraian, gagal bisnis, terlilit utang, terkena
penyakit berat, dsb. Ketidakmampuan menghadapi kegagalan bisa membuat mereka
gampang menyerah, malu, marah, atau frustasi. Maka, bisa jadi seluruh
kehidupannya menjadi "badai yang tak pernah berlalu" dan akhirnya
menciptakan "lingkaran setan" sendiri.

Bila kita tidak dapat mencegah datangnya hari-hari mendung, bagaimana
mungkin kita dapat menghadapinya secara positif. Sukses selalu dianggap
kehormatan, sedangkan kegagalan sering dianggap kehinaan. Namun sebenarnya
tidak ada kesuksesan yang diperoleh tanpa melalui proses belajar dari
kegagalan masa lalu. Istilah "sukses dalam satu malam" sebenarnya hampir
tidak pernah ada di dunia nyata.

*Mengajari anak arti gagal*
Sejak usia dini anak perlu diajari bahwa setiap orang pernah mengalami
hari-hari sulit dan kegagalan, tetapi bukan tanpa tujuan. Kegagalan dan
kesulitan bisa membawa mereka ke gerbang kesuksesan.

Kegagalan perlu dipandang sebagai batu loncatan, bukan sebagai lampu merah
tanda berhenti. Thomas Alva Edison yang menciptakan lampu pijar, atau Henry
Ford si pencipta mobil, bisa begitu sukses melalui kegagalan berkali-kali
dan sikap pantang menyerah untuk terus mencoba.

Memotivasi anak untuk tetap melihat kesuksesan dan kegagalan dalam
perspektif yang benar memang bukan hal mudah. Terkadang sebagai orang tua
atau guru, kita sering mengkritik bahkan menghukum anak didik yang gagal
meraih prestasi yang diharapkan, walau hal tersebut dilandasi niat baik.
Padahal masa kanak-kanak dan remaja adalah masa-masa penting untuk membangun
rasa percaya diri. Kepercayaan diri mereka masih rapuh, dan kalau kita
sering mengritik dan menghujat kegagalannya, rasa percaya diri mereka akan
hancur berantakan.

Seorang bayi tidak tahu bagaimana harus berjalan, tetapi ia akan terus
mencoba dengan proses yang begitu sulit; jatuh berkali-kali, tangisan,
mungkin benjolan di kepala. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengkritik dan
menyalahinya, apalagi menghujatnya. Yang ada hanyalah empati, pelukan dan
ungkapan sayang ketika ia menangis karena terjatuh, serta tepukan tangan
ketika ia bisa melangkah.

Kalau saja ada orang tua mengatakan bodoh atau menghukum seorang bayi ketika
jatuh saat belajar berjalan, maka ia akan berhenti dan tidak mau mencoba
lagi, mungkin ia akan menjadi seorang yang lumpuh.

Maka, anak-anak dan remaja perlu diajarkan untuk memandang kegagalan dua
pandangan positif, yaitu (1) sebagai kesalahan atau keteledoran yang dapat
diperbaiki, dan (2) sebagai kesempatan untuk belajar dari kesalahan dalam
melangkah ke depan. Anak-anak perlu mengetahui bahwa mereka adalah "lebih
besar dari kegagalannya".

*Anak sebagai problem solver*
Suatu saat anak saya yang masih kelas 6 SD pulang dari sekolah dengan wajah
sedikit muram karena harus menyerahkan kertas ulangan Matematika yang harus
ditandatangani. Sewaktu saya melihat nilainya yang jelek, tanpa memberikan
kesempatan untuk berkomentar, ia langsung berkata, "Pak Guru bilang, saya
dapat jelek bukan karena bodoh, tetapi kurang teliti. Kalau saya lebih
hati-hati katanya saya bisa dapat bagus". Wah, ini guru yang hebat.

Kemudian saya menyuruhnya untuk mengerjakan kembali soal-soal yang salah
dengan teliti. Setelah diperiksa, ternyata ia dapat mengerjakan dengan
benar. Dengan semangat ia berkata, "Saya tahu salahnya, dan pasti saya akan
lebih baik lagi".

Andaikan guru tersebut mengatakan ia bodoh dan mempermalukannya, mungkin ia
tidak pernah menjadi begitu bersemangat. Sepotong kalimat arahan positif,
bukan kritikan negatif dari seorang guru ternyata bisa sangat berarti bagi
anak.

Anak-anak perlu mengerti bahwa mereka bisa menjadi *problem solver*. Dengan
menghadapi masalah dan mencari pemecahannya, bukan menghindarinya, mereka
akan membangun "otot-otot" ketegaran yang menjadi bekal mereka untuk
mengarungi kehidupan yang pasti ada cuaca mendungnya.

Semakin mereka mampu menerima kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar,
maka akan semakin tinggi pula motivasinya untuk menerima tantangan baru.
Bahkan kesuksesan sekecil apa pun akan meningkatkan rasa percaya diri dan
rasa antusiasme mereka untuk menjelajahi cakrawala kehidupan. "Wallaahu
a'lam"

Tidak ada komentar: