Untuk semua  Ibu...yang memiliki Ibu...
Cinta dan kasihnya tidak  akan pernah terbalas dengan apapun...
Ibumu adalah
Ibunda darah  dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan  beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke  dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha  Ainun Najib) Siang sudah sampai pada
pertengahan. Dan Ibu begitu anggun  menjumpai saya di depan pintu. Gegas
saya rengkuh punggung tangannya,  menciumnya lama.
Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu  juga
mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah,  kamu
sudah pulang"
itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah,  saya mendapati
ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak  pulang.
Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah  mendidih". Gegas saya angkat
pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu  diisi setengahnya. "Ah
mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja"  pikir saya "Eh,
tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah  ember putih
ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya  memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga  peliharaan Ibu.
Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam  bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di  pagar
yah" pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya  memandang Ibu yang
tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak  meminta bantuan,
biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala  hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah  sepulang
dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah  saya.
"Bu, siapa itu.?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu  sekarang"
pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak  suka
mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan  rumah
tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan,  semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya
tilawah selepas  maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang
terbuat dari kertas koran  yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf
al-qur'an. Dan mata ini memandang  lekat pada jemarinya. Keriput,
urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang  membuat saya tertegun.
Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling,  menyembunyikan bening kristal
yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.  Mungkinkah segala bantuan yang ia
minta sejak saya pulang, karena tangannya  tak lagi paripurna melakukan
banyak hal?
"Dingin" bisik saya, sambil  beringsut membenamkan kepala di pangkuannya.
Ibu masih terus tilawah, sedang  tangan kirinya membelai kepala saya.
Saya memeluknya, merengkuh banyak  kehangatan yang dilimpahkannya tak
berhingga.
Adzan isya  berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama  suaranya
memenuhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta  yang
dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-Thariq.
Usai shalat, saya  menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya
pandangi lagi tangannya yang  terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah"
spontan saya memohon. "Neng."  suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini
tangannya terangsur di depan saya,  kebiasaan saat selesai shalat, saya
rengkuh tangan berkah itu dan  menciumnya.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu  tersenyum
maniss sekali.
"Penyakit orang tua"
"Sekarang tangan  ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga"  tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian  gemerlap
berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari  teras
depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam  perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis  Ibu
sehabis shalat isya tadi.
Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti  melayang. Telah banyak hal
yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan  yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan  saya. Tangan
yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab  ketika saya
tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus  lembut
ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya  bergemuruh.
Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap  ujian
yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari  pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih  kecil
yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru  memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya,
suratnya selalu saja  datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya
mengerutkan dahi, pasalnya  beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m
nya mirip sekali. Ibu paling suka  menulis surat dengan tulisan sambung.
Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan  puisi yang diciptakannya sendiri.
Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu  memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam  Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,  Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,  Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta Itu  saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca  dari
sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang  ibunda
adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran,  cinta,
ketulusan..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan  masakan di meja makan
untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah  jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam  menapaki
hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya  membereskan tempat
tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua  persembahan
tangannya?..
Ketika akan meninggalkannya  untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu,
ikutlah ke jakarta, biar dekat  dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih
perkasa di banding kalian, Dia menjaga  Ibu dengan baik di sini. Kamu
yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih  senang" Jawabannya ringan.
Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas  saya pergi. Ibu tampak
lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah.  Sebelum pergi,
saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat ,  saya reguk
seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya.  Selagi sisa
waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh  takzim.
Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih  tangannya,
meletakannya di kening.
***
Bagaimana dengan kalian para  sahabat? Engkau sangat tahu, lewat
tangannya kau ada, duduk di depan komputer  dan membaca tulisan saya ini.
Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa  menjadi seseorang yang
menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding  siapapun juga. Maka,
usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk  mengajaknya bahagia.
Inilah saatnya, inilah  masanya.
hero....Selamat Hari Ibu.......I'
I try it, the more You give me love.....I don't know  how to say
more....mugi2 diparingi Gusti Alloh rahmat lan  keslametan,nyuwun
pangapunten putrimu..a2n)
Untuk   ibuku tercinta…semua Ibu didunia.dan juga calon  Ibu…
Semoga  tiada  kata terlambat untuk  mengucapkan  rasa takdzim dan hormatku
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar