Sabtu, 29 November 2008

I LOVE U SO MUCH

Untuk semua Ibu...yang memiliki Ibu...
Cinta dan kasihnya tidak akan pernah terbalas dengan apapun...

Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

(Emha Ainun Najib) Siang sudah sampai pada
pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas
saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.
Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga
mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu
sudah pulang"
itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati
ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat
pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah
mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya "Eh,
tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih
ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu.
Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar
yah" pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang
tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan,
biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang
dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya.
"Bu, siapa itu.?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang"
pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka
mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah
tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya
tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang
terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf
al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput,
urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun.
Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal
yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia
minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan
banyak hal?
"Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya.
Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya.
Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak
berhingga.

Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya
memenuhi udara mushala kecil rumah. Seperti biasa surat cinta yang
dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha dan At-Thariq.
Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya
pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah"
spontan saya memohon. "Neng." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini
tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya
rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.
"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum
maniss sekali.

"Penyakit orang tua"

"Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga" tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap
berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras
depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu
sehabis shalat isya tadi.
Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal
yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan
yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya
tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut
ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya bergemuruh.
Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian
yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil
yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya,
suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya
mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m
nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung.
Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri.
Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta Itu saja.

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari
sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda
adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta,
ketulusan..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan
untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki
hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat
tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan
tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu,
ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih
perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu
yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan.
Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak
lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi,
saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk
seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa
waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim.
Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya,
meletakannya di kening.

***
Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau sangat tahu, lewat
tangannya kau ada, duduk di depan komputer dan membaca tulisan saya ini.
Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa menjadi seseorang yang
menjadi kebanggaan. Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka,
usah kau tunggu hingga tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia.
Inilah saatnya, inilah masanya.

Taken from : Dudung.net (Unknown author) (Thanks Ibuku, You're my
hero....Selamat Hari Ibu.......I'll try now to make you smile, the more
I try it, the more You give me love.....I don't know how to say
more....mugi2 diparingi Gusti Alloh rahmat lan keslametan,nyuwun
pangapunten putrimu..a2n)

Untuk ibuku tercinta…semua Ibu didunia.dan juga calon Ibu…

Semoga tiada kata terlambat untuk mengucapkan rasa takdzim dan hormatku


Tidak ada komentar: