Sabtu, 22 November 2008

Kisah cacing dan Lebah

Pada jaman dahulu kala - sebelum kita semua ada dan bahkan sebelum sejarah ada, alkisah hiduplah dua sahabat karib, nama mereka si Lebah dan si Cacing Tanah. Tapi kita jangan membayangkan mereka seperti lebah dan cacing tanah seperti yang kita lihat sekarang. Pada saat itu Lebah dan Cacing Tanah bentuknya sangat mirip satu sama lain, bahkan seperti saudara kembar atau ibaratnya seperti pinang dibelah dua. Mereka barangkali lebih mirip seperti semut atau orong-orong yang kita lihat sekarang, si Lebah tidak punya sayap, sedangkan si Cacing Tanah punya kaki, punya tangan dan punya leher serta kepala. Lagipula mereka berdua bisa bercakap-cakap dengan bahasa yang sama tentunya sebagai layaknya dua sahabat karib. Oh iya.... , berbeda dengan Lebah dan Cacing Tanah jaman sekarang, makanan mereka hanyalah buah-buahan. Mereka menyukai semua jenis buah, jambu, alpukat, apel, durian, pisang dan sebagainya .......

Alkisah syahibul hikayat, dan "pada suatu hari ....." (ini biasa dipakai mengawali dongeng di Indonesia); keduanya berbincang-bincang mengenai bagaimana mencapai kehidupan yang "ideal", dan sedikit banyak mereka juga mendengar bahwa kehidupan ideal itu ada di taman Firdaus. Lalu mereka memutuskan untuk bersama-sama mencarinya. Setelah melakukan persiapan-persiapan seperlunya, perlengkapan seperti topi, backpack, galon air minum, tongkat dan sebagainya; mereka memulai perjalanan mencari Taman Firdaus.

Setelah berbulan-bulan mereka berjalan, mereka tiba di suatu tempat yang sangat indah, luar biasa ....... dan ada gerbang di depannya bertuliskan "Taman Pirdaus". Kedua sahabat ini sangat gembira, mereka saling berpelukan dan sebagainya, dan merayakan keberhasilan mereka, lalu masuklah mereka ke Taman Pirdaus. Di dalam taman mereka mendapati belbagai buah-buahan warna-warni, segala jenis buah bisa didapat, dan ada yang masih ranum, ada yang sudah masak, ada yang baru jatuh bertebaran di tanah saking sudah matangnya. Pendek kata ... mereka akhirnya menemukan surga dunia yang mereka cita-citakan. Kedua sahabat sangat menikmati kehidupan yang berlimpah-ruah, tidak perlu susah payah, semua tersedia.

Dalam kehidupan yang berlimpah ruah tersebut, mulailah nampak adanya perbedaan pandangan hidup di antara kedua saudara yang nyaris kembar ini. Si Lebah selalu mendongak ke atas, meneliti buah-buah yang ada di atas pohon, kalau-kalau ada buah yang belum pernah dia coba sebelumnya, atau kalau-kalau ada buah yang lebih menarik hati, ketimbang buah-buahan yang menggantung rendah (low hanging fruits) dan tinggal diraih, atau ketimbang buah-buah yang sudah jatuh dan tinggal dipungut untuk dimakan.
Si Lebah suka memanjat-manjat pohon, terkadang terjatuh dari pohon, sedikit babak belur hanya untuk mendapat buah yang dia ingini tapi menggantung jauh di pucuk pohon.

Si Cacing Tanah, sebaliknya, dia benar-benar menikmati keberhasilannya menemukan Taman Pirdaus, kehidupan ideal sebagaimana mereka cita-citakan semula, yaitu hidup tanpa susah payah dan berlimpah ruah. Dia mencari suatu pohon yang teduh, lalu menumpuk belbagai buah yang berlimpah ruah tersebut di bawah pohon yang dia pilih berbentuk lingkaran (seperti benteng dari buah begitulah..... ).
Setelah benteng buahnya jadi, dia melompat ke tengah benteng, berbantal backpacknya, berbaring santai, dan memasang i-pod yang dia bawa dan mendengarkan lagu lagu berirama Hawaiian, sembari kedua tangan dan kakinya meraih buah-buah disekitar dirinya ...pepaya di tangan kiri, mangga di tangan kanan, pisang di kaki kiri, jambu di kaki kanan, dan durian di atas diperutnya. Nikmatnya surga dunia .... katanya.

Sesekali Lebah menengok sahabatnya si Cacing Tanah di dalam "benteng buahnya", menanyakan apakabar dengan sahabatnya, lalu dia menunjukkan buah sawo ranum yang baru dipetiknya di pucuk pohon, atau buah arbei biru yang belum pernah ditemui sebelumnya. Lebah juga dengan bersemangat bercerita bahwa dia baru terpeleset dari pohon rambutan, sehingga pahanya biru lebam, tapi dia berhasil memetik buah rambutan yang rasanya semanis gula pasir. Si Cacing Tanah sebaliknya menganggap kisah si Lebah sebagai suatu kebodohan. Cacing Tanah berulang kali mengingatkan si Lebah sahabatnya, betapa bodohnya dia melakukan hal-hal yang dia nilai tidak perlu, buang tenaga, mengambil resiko jatuh, bercapai capai memanjat pohon segala. Dia pamerkan gaya hidup dia yang tidak perlu bersusah payah, semua tersedia, sedikit kerja banyak nikmatnya ....katanya. Demikianlah hal tersebut berlangsung terus, kedua sahabat semakin menunjukkan gaya dan pandangan hidup yang berbeda, sekalipun mereka tetap saling berkunjung dan bertukar pikiran.

Setelah berbulan-bulan, dan bertahun-tahun waktu berlalu, mulai terjadi perbedaan di antara kedua sahabat ini bukan hanya soal pandangan hidup, tapi bentuk fisik mereka juga berevolusi. Si Lebah yang selalu "goyang" bolak-balik jatuh bangun dari pohon, badannya semakin singset dan "keras" dan ringan pula, barangkali karena energi yang keluar lebih banyak dari yang masuk ke badannya. Sebaliknya si Cacing Tanah, yang hidup di dalam benteng buah berlimpah ruahnya berkembang menjadi makhluk yang tambun subur, berperut gendut, namun agak lembek karena kurang physical exercise. Lagipula tangan dan kakinya juga mengecil karena jarang dipakai. Di dalam benteng buahnya si Cacing Tanah bahkan bisa melahap buah yang rontok di dekat mulutnya langsung tanpa perlu dipegang. Matanya pun mengecil, karena tidak perlu jelalatan mencari makanan.

Alkisah, suatu ketika di Taman Firdaus, entah mengapa terjadi bencana kekeringan berkepanjangan. Taman yang rimbun dan berlimpah buahnya mulai nampak meranggas, buah-buah mulai rontok sebelum matang, pohon-pohon menjadi gundul. Buah-buah yang segar dan ranum tidak lagi gampang dipetik, karena hanya tersisa di pohon-pohon tertentu yang dekat dengan sungai. Akibatnya, si Lebah yang memang selalu pilah-pilih dalam mencari makan, mesti bekerja semakin keras dan memanjat semakin tinggi untuk mendapatkan buah-buahan yang dia inginkan. Setelah masa kekeringan mencapai puncaknya, dan si Lebah sudah semakin tinggi memanjat dan sudah 1001 kali jatuh bangun, dia terpeleset dari puncak pohon untuk ke 1002 kalinya. Tiba-tiba, saat dia melolong dan menggapai-gapaikan tangannya saat jatuh seperti biasa, dia merasa seperti mengambang di udara. Rupanya karena badannya sudah menjadi semakin ringan, kepakan tangannya yang kuat rupanya mampu membuat dia setimbang dengan gravitasi bumi.Bahkan saat dia perkuat gapaiannya, dia bukannya jatuh ke bawah, dia sekarang malahan bisa jatuh "ke atas".

Sejak itulah si Lebah mempunyai kemampuan baru untuk "terbang", dia tidak lagi perlu memanjat untuk mencapai buah-buahan di pucuk-pucuk pohon yang tinggal sedikit.

Apa yang terjadi dengan temannya si Cacing Tanah? Saat buah-buahan rontok berjatuhan akibat kekeringan, benteng buah si Cacing Tanah bertambah sendiri tanpa dia harus mengumpulkannya. Saat dedaunan ikut rontok pula, benteng buah si Cacing Tanah bahkan sudah tidak kelihatan lagi tertutup dedaunan. Si cacing tanah sudah terlalu malas untuk bergerak-gerak, apalagi buah-buah berguguran datang sendiri, biarpun buah tersebut belum terlalu masak, atau sudah sedikit layu, atau sedikit busuk, toh masih bisa dikonsumsi tanpa perlu susah payah. Tangan dan kakinya sudah nyaris tidak berfungsi lagi, badannya juga sudah begitu gembrot, dan membulat sekalipun sedikit lembek karena kurang berolahraga. Saat masa kekeringan mencapai puncaknya, buah-buah di benteng si Cacing Tanah sudah semakin membusuk, tapi masih bisa dimakan oleh si Cacing Tanah yang perutnya sudah beradaptasi dengan segala buah-buahan, baik segar maupun busuk, bahkan dia sudah semakin terbiasa mengkonsumsi dedaunan busuk yang ada di sekitar dan menimbun bentengnya.

Musim kemaraupun berlalu, hujan mulai membasahi Taman Firdaus, pohon-pohon yang gundul mulai bertunas sekalipun belum ada buahnya, dan nampaknya masa masa sulit akan segera berlalu. Si Lebah tidak lagi perlu berjalan, tapi dia selalu terbang ke mana-mana. Dia dengan mudah menjelajah ke seluruh taman dengan kepakan sayapnya (d/h tangannya). Dia semakin terbiasa untuk tidak memakan buah, tetapi mengambil nectar dan madu dari bunga pohon-pohon yang bersemi, sekaligus membantu agar bunga-bunga tersebut dibuahi (menjadi buah betulan). Sementara itu, si Cacing Tanah juga tidak lagi bisa berjalan karena kaki tangannya sudah menghilang, dia hanya bisa "menggelosor" di bawah tumpukan dedaunan dan buah-buah yang busuk sembari memakan bahan-bahan di sekitarnya. Sembari menyambung kehidupannya, tentu saja si Cacing Tanah membuat tanah yang dia lewati dan dia "beraki" menjadi tanah yang lebih gembur dan lebih subur.

Pada suatu hari (lagi......), si Lebah rindu untuk berjumpa dengan sahabat karibnya, dan dia terbang ke kawasan benteng buah si Cacing Tanah sembari menjerit-jerit memanggil nama temannya itu. Tiba-tiba, muncullah sesosok makhluk dari dalam timbunan daun yang menjawab panggilan. Keduanya kaget, dan tidak saling mengenali, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka sudah memilih untuk menempuh jalan hidup mereka sendiri. Si Lebah dan si Cacing Tanah kemudian saling berpelukan dan bertangisan (bagaimana caranya aku juga tak tahu???). Sedih dan gembira tentunya. Sedih karena mereka bakalan terpisahkan akibat memilih jalan hidup yang berbeda. Gembira karena mereka masih bisa bertemu dan saling mengenali, dan selanjutnya mereka sudah menemukan peran yang positif bagi kelangsungan alam semesta ini.

Terakhir, semoga kisah sang Lebah dan Cacing Tanah bersama kita renungkan dalam konteks memilih jalan hidup kita. Si Lebah dan Cacing Tanah telah memilih jalan mereka masing-masing, dan akhirnya telah menemukan peran yang sama-sama berguna bagi alam semesta kita

Information From

Tidak ada komentar: