Rabu, 12 November 2008

Memakmurkan Masjid VS Memewahkan Masjid

Assalamu’alaikum wr wb,
Berikut satu artikel yang menarik sekali. Dari berbagai hadits disebutkan bahwa kita dilarang bermewah-mewahan dalam menghias masjid sebab itu adalah satu tanda dari dekatnya kiamat. Dan orang yang hidup dekat kiamat adalah manusia yang bobrok akhlaknya dan rusak agamanya.Allah melarang kita bermewah-mewahan dan menghamburkan uang.

„Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takatsuur:1]
„Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.“ [Al Israa’:26-27]

Hendaknya uang diberikan kepada keluarga dan fakir miskin. Bukan dipakai untuk menghias masjid secara mewah seperti melapis kubahnya dengan emas.

Masjid seharusnya kuat, besar (cukup untuk jama’ahnya), bersih, rapi dan wangi di mana orang
bebas beribadah kepada Allah di dalamnya.

Percuma masjid mewah jika masjid lebih sering terkunci karena pengurus takut masjidnya kecurian sehingga orang tidak bisa beribadah menyebut nama Allah.

Wassalam

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/05/0108.htm
Memakmurkan Masjid
Ir. H. BAMBANG PRANGGONO, M.B.A, I.A.I.

KEGIATAN Rasulullah saw. yang pertama ketika hijrah ke Madinah ialah membangun sebuah masjid. Dindingnya dari tanah liat, tiangnya batang kurma, lantainya pasir dan atapnya pelepah kurma. Apakah karena kondisi ekonomi masih prihatin? Ternyata tidak.

Dalam kitab Dalail Al-Nubuwwah, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ubadah ibn Shamit bahwa kaum Ansar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?"

Beliau menjawab, "Aku mau seperti saudaraku Nabi Musa a.s., masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s. Hasan menjelaskan bahwa ukuran arisy Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh.
Kisah itu membuktikan bahwa kesederhanaan arsitektur Masjid Nabawi yang asli di Madinah bukanlah karena kurang biaya. Tetapi memang disengaja oleh Rasulullah saw. untuk diteladani umat Islam.

Beliau bersabda. "Aku tidak diutus untuk menghias-hias masjid". Dalam Hadis lain beliau bersabda, "La taqumu al-sa'ah hatta yatabahannasu bil masajid" tidak datang saat kehancuran sampai manusia berlomba bermegah-megahan dengan masjid-masjid. Masih banyak lagi hadis serupa, misalnya yang terdapat dalam kitab At-Targhih wa at-Tarhib bahwa sahabat Anas r.a. pernah keluar menyertai Rasulullah saw. Lalu tampak oleh beliau bangunan tinggi berkubah.

Beliau bertaya, "Apa itu?" Para sahabat menjawab bahwa itu adalah kubah milik si Fulan, orang Ansar. Rasulullah saw. bersabda, "Semua bangunan megah akan menjadi beban bagi pemiliknya di hari kiamat." Maka sahabat Ansar tadi dengan patuh meruntuhkan kubah itu. Lantas Rasulullah saw. mendoakannya dua kali, "Yarhamullah, yarhamullah" Semoga Allah merahmati dia. Prinsip bangunan masjid sederhana ini dipegang teguh oleh beliau sampai wafat.

Ini diteruskan oleh empat Khulafa'ur rasyidin, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali r.a. Mereka adalah para khalifah yang paling saleh dan paling paham tentang Islam. Di zaman merekalah wilayah Islam meluas dengan pesat meliputi kerajaan Mesir, Persia, dan Rumawi.
Tetapi di tengah melimpahnya harta dari segala penjuru, arsitektur masjid Nabawi tetap sederhana sesuai pedoman Rasulullah saw., walaupun ukuran masjid mengalami perluasan berkali-kali.

Baru setelah Muawiyah, anak Abi Sufyan menjadi khalifah, negara diubah menjadi kerajaan dan ibu kota pindah dari Madinah ke Damaskus. Dia dan keturunan hidup bermewah-mewah membangun istana pribadi berkubah hijau dan juga masjid Umayah yang megah. Pelanggaran prinsip ini berkelanjutan sepanjang sejarah Islam. Masjid-masjid mulai dibangun dengan arsitektur semakin mewah di seluruh dunia.

Bila sejarah diteliti, maka akan terungkap bawah sebagian besar istana masjid-masjid monumental itu dibagun oleh penguasa yang perilakunya tidak terlalu islami. Barangkali untuk mengimbangi rasa bersalah kemewahan hidupnya, mereka membangun juga masjid yang megah. Raja-raja yang saleh biasanya tidak meninggalkan arsitektur masjid mewah. Arsitek masjid megah tedapat dari Maroko sampai Spanyol. Dari Turki sampai India, Iran, sampia Asia Tenggara.

Termasuk masjid Nabawi di Madinah sendiri saat ini dibangun super mewah, dan sangat boros energi. Saking mahalnya sampai pintu dikunci jam 10 malam, takut ada pencuri hiasan emas murni di dalamnya. Dan anehnya kita ikut berbangga untuk hal yang dikecam oleh Rasulullah saw. Alasan klasik biasanya ialah, demi syi'ar Islam, bangunan masjid harus melebihi megahnya
gereja dan kuil. Tetapi adakah hal itu diperintahkan dalam Alquran atau hadis atau ucapan sahabat?

Sayang sekali perintah itu tidak ditemukan, yang ada justru kecaman. "Alhakum at-takatsur hatta zurtumu al-maqobir". Kalian dilengahkan oleh berlomba kemegahan dan kuantitas, sampai ke tepi liang kubur.(At-Takatsur 1,2). Memang ada hadis, "Inna'llaha jamilun yuhibbu al-jamal" Allah itu indah dan Dia cinta keindahan. Namun ketika keindahan itu harus dibayar mahal perbuatan itu bisa masuk kategori isrof (berlebihan), yang justru dibenci Allah dalam Alquran Al-An'aam: 141: "Innahu lau Yuhibbu al-musrifin". Sesungguhnya Dia Allah tidak mencintai orang yang berlebihan.

Kita hanya mengagumi tampilan fisik tetapi lupa akan jiwa dan niat dan aktivitas masjid. Padahal Rasulullah saw. bersabda, "Inna 'Illaha la yandzuru ila suwarikum wala ila amwalikum. Walakin yandzuru ila qulubikum wa a'alikum" Sesungguhnya Allah tidak melihat penampilanmu dan kekayaanmu. Melainkan Dia melihat hatimu dan amalmu. Bila prinsip ini diterapkan kepada penilaian masjid, maka yang dinilai seharusnya bukan hal fisik keindahan luar seperti tingginya kubah dan menara, mengkilatnya lantai granit dan empuknya permadani. Mahalnya lampu kristal. Indahnya ukiran ornamen di mimbar dan kaligrafi di dinding. Melainkan hal yang lebih abstrak berupa ketulusan niat membangun masjid, keikhlasan pengurus.

Kemakmuran salat berjama'ah sejak salat subuh, kreativitas pemuda, kesucian sumber dana, kejujuran penyaluran dana, dan efektivitas dakwah yang dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Kebersihan fisik memang dianjurkan oleh Rasulullah saw., dengan melarang meludah dan makan sejenis bawang bila masuk masjid. Tetapi kebersihan batin juga disyari'atkan, dilarang berjual beli dan mengumumkan barang hilang di masjid.

Niat juga penting. Allah SWT memerintahkan menghancurkan masjid dlirar yang bagus di Madinah, hanya karena niat buruk kaum munafik yang membangunnya untuk memecah belah kaum Muslimin. Paradigma arsitektur masjid harus dikoreksi. Tampilan fisik masjid tidak penting. Keindahan bukan prioritas pertama. Fungsi pokok masjid harus didahulukan. Tegaknya syari'at di lingkungan sekitar masjid, kekompakan persaudaraan Islam, Kepekaan terhadap kesenjangan sosial adalah standar yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para penerusnya. Setelah sasaran itu terlaksana, barangkali tidak mengapa sisa dana dipakai memperindah masjid. Wallahu a'lam.***

Penulis Ketua Korps Mubalig, Dewan Masjid Indonesia,
Jawa Barat.

===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: media-dakwah-subscribe@yahoogroups.com
http://www.media-islam.or.id

Tidak ada komentar: