Selasa, 18 November 2008

Menit-Menit Kritis yang Mengubah Sikap Indonesia Terhadap Iran

A. Jafar M. Sidik

Jakarta (ANTARA News) - Entah apa yang diucapkan Presiden AS George Bush dan Menlu Condoleezza Rice kepada Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar.
Yang jelas, setelah mereka menelepon, ketiga negara itu mengubah pendiriannya terhadap Iran, hanya beberapa menit sebelum voting Resolusi 1747 dilakukan.
Menit-menit terakhir menjelang veto dilakukan inilah yang mengubah pendirian Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar.
Ketiga negara akhirnya menyetujui resolusi PBB tentang sanksi yang lebih keras terhadap Iran, jika negeri itu tetap menolak menghentikan pengayaan uranium, lapor edisi online Mingguan Mesir, Al-Ahram, 29 Maret - 4 April 2007.
Al-Ahram tidak menyebutkan siapa saja yang dihubungi George Bush dan Condoleezza Rice itu.
Berdasarkan pengamatan wartawannya di markas besar PBB di New York, Khaled Dawoud, 48 jam sebelum pemungutan suara bagi Resolusi 1747, Wakil Tetap Afrika Selatan di PBB yang juga Presiden Dewan Keamanan PBB, Dumisani Kumalo, mengajukan teks amandemen setebal tiga halaman yang gagal disetujui lima anggota tetap DK PBB, dan juga Jerman.
Negara-negara Anggota Tetap DK PBB menolak amandemen usulan Afrika Selatan ini karena ingin memastikan sanksi lebih keras meluncur tanpa hambatan dan ingin memaksa Iran mau tetap berunding lewat jalur politik, bukan berbalas ancam.
Namun penolakan ini membuat Kumalo kecewa sehingga secara terbuka dia menyatakan merasa dikhianati oleh enam negara pengusul Resolusi 1747 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, RRC, dan Jerman).
Sebaliknya, dua negara muslim anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia dan Qatar, mendukung usulan Afrika Selatan, bahkan keduanya mengancam akan abstain atau menentang resolusi baru terhadap Iran jika amandeman yang diajukan Afrika Selatan ditolak.
Indonesia dan Qatar menginginkan satu resolusi baru yang mengaitkan aksi PBB terhadap Iran adalah dalam rangka pembentukkan zona bebas nuklir di Timur Tengah.
Frasa ini ditujukan kepada Israel yang memiliki senjata nuklir namun tak terikat pada Perjanjian Penyeberan Senjata Nuklir (NPT) sehingga tak pernah tersentuh pemeriksaan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Dengan memasukkan frasa ini, kedua negara berharap ada penyelesain adil terhadap Iran yang selama ini merasa dizalimi Barat sementara Israel yang secara de facto menguasai senjata nuklir dibiarkan menguasai energi nuklir tanpa pengawasan internasional. Dalam bahasa terbuka, ketiga negara menginginkan IAEA memeriksa juga Israel.
Tetapi, proposal ketiga negara ini ditolak mentah-mentah AS.
"...resolusi hanya menyangkut Iran (jangan dikait-kaitkan dengan soal lain)," kata delegasi AS.
Meski akhirnya, setelah melewati dua hari negosiasi yang melelahkan di mana selama itu para delegasi anggota DK PBB menerima komando dari pemerintahan pusat masing-masing, AS menyetujui frase anti penyebaran senjata nuklir di Timur Tengah, namun kalimat yang dimasukkan dalam teks resolusi sifatnya kabur dan kentara melindungi Israel.
AS menolak paragraf yang diusulkan Afsel, Indonesia dan Qatar, namun agar ketiga negara tidak kehilangan muka ia setuju memasukkan kalimat pembukan dalam Resolusi 1747 yang diadopsi IAEA tahun lalu (2006) yang maknanya lebih bercabang ketimbang yang diusulkan Indonesia, Afrika Selatan dan Qatar.
Bunyi kalimat itu adalah, "..bahwa solusi terhadap isu nuklir Iran akan mendukung upaya-upaya penyebaran senjata nuklir secara global dan mewujudkan kawasan Timur Tengah yang bebas senjata pemusnah massal." Tak ada satu kalimat pun yang merujuk langsung ke Israel.
Dari tiga halaman amandemen yang diusulkan Afsel hanya satu paragraf yang disetujui DK PBB, yaitu pemberian wewenang yang lebih kuat dari DK PBB kepada IAEA untuk memastikan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai energi nuklir dipatuhi anggota-anggotanya, termasuk tak adanya pengecualian material nuklir yang digunakan untuk tujuan-tujuan anti perdamaian.
Namun, meski hanya disetujui satu paragraf, ketiga negara akhirnya melunak sikapnya dan menerima Resolusi 1747.
Ironisnya, banyak diplomat PBB yang heran dengan perubahan sikap yang tiba-tiba dari ketiga negara itu. Beberapa kalangan menduga ada "pendekatan sangat aktif" dari Gedung Putih terhadap ketiga negara itu.
Peran AS
Al-Ahram menyebutkan, seorang diplomat yang turut dalam proses negosiasi untuk menggolkan Resolusi 1747 mengungkapkan bahwa Amerika Serikat adalah satu-satunya pihak yang sangat agresif "meyakinkan" Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar agar mengubah sikap mereka terhadap Iran di DK PBB.
"Seluruh proses dilakukan sendirian oleh (Pemerintah) Amerika Serikat. Bahkan wakil tetap mereka di PBB tidak tahu apa yang sedang terjadi, karena dia hanya menunggu instruksi dari Departemen Luar Negeri di Washington. (Para wakil tetap) Perancis dan Inggris bahkan bertanya pada kami apa gerangan yang sedang terjadi," kata diplomat yang meminta tidak disebutkan nama dan asal negaranya itu.
Majalah Mesir ini menyebutkan, berdasarkan fakta-fakta bahwa Indonesia, Afrika Selatan dan Qatar telah "didekati" oleh Amerika Serikat sehingga mereka mengubah pendiriannya atas Resolusi 1747, menjadi ironis jika kemudian ketiga wakil negara itu berpidato seolah mereka tidak senang dengan resolusi itu, padahal faktanya mereka ikut menyetujui resolusi itu.
"Kami sangat sedih bahwa DK telah dipaksa untuk menerapkan sanksi-sanksi baru terhadap Republik Islam Iran," kata Wakil Tetap Qatar di PBB, Nasser Abdel Aziz Al Nasser.
"Pencakupan isu penyebarluasan senjata nuklir yang menurut kami (Qatar) positif seharusnya tak diterapkan secara selektif (tebang pilih). Dalam pandangan kami, Dewan Keamanan mestinya menerapkan langkah serupa terhadap negara-negara yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban NPT termasuk negara yang sejak awal tidak menghormati kesepakatan global NPT."
Kalimat Nasser ini jelas membidik Israel, tetapi tidak berdampak apapun karena tidak ada resolusi tegas dan jelas yang mensyaratkan Israel juga tunduk pada gagasan anti penyebaran senjata nuklir di Timur Tengah.
Para diplomat PBB sendiri sebenarnya banyak yang khawatir bahwa AS tidak sekedar membidik aktivitas nuklir Iran. Mereka menduga, target AS di Iran lebih dari sekedar isu senjata nuklir.
Faktanya, hanya beberapa saat setelah Resolusi gol, AS merilis daftar 28 kelompok dan perseorangan yang dikaitkan dengan implementasi Resolusi 1747.
Aset-aset ke 28 orang ini menjadi target pembekuan, sekaligus dicekal bepergian ke luar negeri. Ke-28 itu diantaranya adalah tujuh pemimpin kunci Pengawal Revolusi Iran.
Mereka dituduh mengendalikan lalu lintas pembiayaan proyek nuklir Iran, termasuk yang digunakan untuk pengembangan senjata pemusnah massal di Iran.
Padahal, konon tujuannya lebih dari sekedar itu. Selama ini, AS menengarai tokoh-tokoh utama Pengawal Revolusi Iran adalah oknum dibalik Hizbullah di Lebanon dan Hamas serta Jihad Islam di Palestina.
Beberapa bulan belakangan, Washington bahkan menuduh Pengawal Revolusi mengembangbiakkan militan Syiah Irak lewat suplai bom canggih dengan target pasukan AS.
Aksi Militer
Beberapa negara, bahkan Inggris, sepertinya telah menduga gelagat buruk dari Washington tersebut.
Oleh karena itu, menyusul keluarnya Resolusi 1747, Wakil Tetap Inggris di PBB Sir Emyr Jones Parry buru-buru menandaskan bahwa pintu negosiasi masih terbuka lebar untuk Iran. "Sanksi akan dicabut segera setelah Iran menyetujui menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya," kata Sir Emyr.
Sementara Dubes AS di PBB Alejandro Wolf justru mengancam Iran untuk mematuhi Resolusi 1747 dengan memberi batas waktu dua bulan untuk segera memenuhi semua isi resolusi baru itu.
Ironisnya, Alejandro mengaitkan itikad Iran dengan pribadi Presiden Mahmoud Ahamdinejad. Katanya, pernyataan Ahmadinejad bahwa Israel harus dihapus dari peta bumi menunjukkan Iran memang menjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Semula, Ahmadinejad akan hadir dalam pemungutan suara di DK PBB ini namun dibatalkan di menit-menit terakhir setelah AS mengulur-ulur pemberian izin visa kepada Presiden Iran dan para stafnya itu. Entah apa yang dipikirkan AS, tapi beberapa kalangan menduga AS tidak ingin Ahmadinejad memengaruhi forum PBB sehingga agenda resolusi yang lebih keras terhadap Iran gagal keluar.
Akibatnya, Iran pun merasa AS sedang memanipulasi PBB sehingga resolusi yang lebih keras terhadapnya pun terbit tanpa ada kesempatan untuk membela diri.
"AS dan sekutu-sekutunya telah memanipulasi Dewan Keamanan PBB hingga mengeluarkan tiga resolusi keras terhadap Iran hanya dalam waktu delapan bulan," kata Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Motaki.
Kini, yang menjadi kekhawatiran para diplomat di PBB adalah kemungkinan Pemerintahan George Bush memakai rangkaian resolusi terhadap Iran sebagai jalan menuju aksi militer terhadap Iran sebelum ia lengser dari Gedung Putih akhir 2008 nanti. Apalagi Iran kini tengah berselisih hebat dengan Inggris, sekutu terdekat AS, setelah mereka menangkap marinir Inggris.
"Resolusi terbaru ini jelas menyebutkan bahwa tindakan apapun terhadap Iran nanti hanya sebatas ekonomi dan politik.
Tak ada ruang untuk aksi militer ke Iran," janji Wakil Tetap Rusia di PBB Vitally Churkin.
Tetapi, tidak ada yang bisa dipastikan dalam diplomasi dan politik. Dulu, Rusia dan RRC pernah menjamin tak akan ada aksi militer ke Irak, kenyataannya Irak diserang juga.
Bara di Timur Tengah terus memerah. Sumbu-sumbu perang dinyalakan, ironisnya peperangan itu sering bermula dari diplomasi yang gagal dan keputusan yang dianggap tidak adil terutama oleh pihak yang merasa dikhianati.
(*)

Copyright © 2007 ANTARA

Tidak ada komentar: