Sabtu, 29 November 2008

Musibah

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Dulu, ketika kita mendengar ada badai hebat di Amerika, Bangladesh, hingga
Filipina; banjir meluap di Tiongkok, Brazil, hingga Korea; gempa dahsyat di
Rumania, Meksiko, hingga Jepang; kapal tenggelam di Inggris, Italia, hingga
Rusia; kecelakaan kereta api di Argentina, Skotlandia, hingga Jerman;
kecelakaan pesawat di Turki, Prancis, hingga Sri Lanka; kebakaran hutan di
Amerika, Tiongkok, hingga Australia; ledakan di Irlandia, Iraq, hingga
Pakistan; pertumpahan darah di Timur Tengah, India, hingga Afghanistan; dan
musibah-musibah lain yang terjadi di berbagai belahan dunia, setiap kali
kita hanya sebentar ikut prihatin, lalu diam-diam atau terang-terangan
merasa lega dan bersyukur bahwa tempat-tempat musibah tersebut jauh dari
kita.

Sekarang, ketika musibah-musibah itu, plus musibah lumpur panas, secara
beruntun terjadi di tanah air, masih juga banyak orang yang jauh dari tempat
musibah bereaksi sama. Ikut prihatin sebentar, lalu diam-diam atau
terang-terangan bersyukur bahwa bukan mereka yang terkena.

Karena beruntun, setidaknya dalam dua tahun belakangan, banyak pula yang
terusik dan bertanya-tanya: Ini ada apa? Ini cobaankah, peringatan, atau
siksa dari Tuhan?

Memang, ada beberapa ayat suci yang jelas-jelas menyatakan bahwa musibah dan
kerusakan adalah akibat ulah manusia (misalnya, Q.4: 62; 28: 47; 30: 36, 41;
42: 48). Namun, dalam menjabarkan ayat-ayat itu, berbeda-beda hujah orang.
Ada yang dengan nada keminter menyalahkan pihak-pihak selain dirinya. "Alam
itu memiliki karakter yang tetap," katanya; "Gunung, laut, angin, dsb sama
saja tidak pernah berubah. Jadi, bisa dipelajari. Seharusnya para ilmuwan
dapat memberikan masukan informasi kepada pemerintah dan masyarakat.
Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi gejala-gejala alam itu. Apa kerja
Badan Meteorologi dan Geofisika itu?"

Dari mereka yang suka menyalahkan itu, ada yang lucu; menyalahkan presiden
yang dianggap membawa sial dan seharusnya diruwat.

Ada pula yang agak memper, menyalahkan orang-orang yang suka merusak alam.
Menurut mereka, alam marah kepada manusia yang terus-menerus melukainya.
Bukan hanya manusia yang bisa kecewa, marah, demo, dan ngamuk. Alam pun
bisa.

Ada yang lebih kehambaan dengan mengakui bahwa semua ini akibat dosa masal
terhadap Tuhan pencipta manusia dan alam. Dosa kita semua. Jadi, tidak
relevan dan sia-sia apabila hanya saling tunjuk, menganggap pihak lain saja
yang berdosa, seolah-olah masing-masing merupakan wakil Tuhan.

Semua aturan Tuhan dilanggar beramai-ramai. Diangkat menjadi khalifah di
kehidupan di dunia, tidak merawat dan mengelolanya secara baik, malah
merusaknya. Mereka yang merasa benar tidak mau membenarkan, malah hanya
menyalah-nyalahkan. Mereka yang berkesempatan berkorupsi tidak ditutup
kesempatannya berkorupsi, malah dipupuk dan diberi peluang.

Hukum yang seharusnya menata malah ditata. Penegak hukum yang melencengkan
hukum tidak dibantu menegakkan, malah didorong untuk terus melencengkannya.
Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua merajalela. Amuk di mana-mana.

"Karena dosa masal, untuk menghentikan hajaran Tuhan ini, tiada lain kita
semua mesti melakukan tobat masal," kata sohibul pendapat itu.

Saya sependapat dengan pikiran tersebut karena saya sendiri juga melihat
kenyataan perikehidupan kita yang seperti itu. Saya setuju dan mendukung
anjuran tobat masal, tapi tidak dengan pengertian yang sederhana. "Hanya"
ramai-ramai istighotsah secara seremonial, nangis-nangis minta ampun kepada
Tuhan, lalu sudah.

Tobat yang saya dukung adalah tobat yang sesungguhnya. Masing-masing
mengidentifikasi kesalahan sendiri dan menyesalinya, lalu bertekad tidak
mengulangi. Mereka yang merasa pernah merampas hak orang lain segera
mengembalikan atau meminta ikhlas dari pihak yang terampas. Misalnya,
pejabat yang pernah mengorupsi harta rakyat, segeralah mengembalikan. Atau,
jika telanjur habis termakan, mengadakan konferensi pers untuk memohon
keikhlasan dari rakyat.

Mereka yang pernah atau sering nyogok atau menerima sogok, segera berhenti
dan berjanji tidak akan mengulangi. Mereka yang karena memiliki kelebihan,
baik berupa kekayaan, kepintaran, maupun kekuasaan, hendaklah segera
menyadari bahwa itu semua adalah anugerah Tuhan yang seharusnya disyukuri,
bukannya dijadikan alasan untuk angkuh serta merendahkan orang lain.

Mereka yang suka memutlakkan pendapat dan kebenaran sendiri hendaklah segera
menyadari bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah dan mulai belajar
menghargai pendapat orang lain. Demikian seterusnya. Kemudian, baru dengan
tulus dan khusyuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Pengampun.

Kesalahan-kesalahan yang telanjur dilakukan karena kebodohan serta
kecerobohan harus diakui dan diusahakan memperbaiki dengan belajar atau
menghindarinya sama sekali. Misalnya, karena pengetahuan kita mengenai
bencana alam dan penanganannya masih minim, kita harus mengakui dan belajar.

Misalnya, karena nasib baik atau KKN, seseorang diangkat dan diserahi tugas
yang tidak begitu dikuasainya, lalu timbul kesalahan, dia bisa memperbaiki
dengan belajar. Tapi, bila tugas tersebut sama sekali di luar kemampuannya,
segera saja mundur. Sebab, kesalahannya akan beranak-pinak.

Karena itu semua adalah pendekatan kehambaan, kuncinya adalah
kerendahhatian. Tanpa sikap rendah hati, tobat akan sia-sia belaka.

Waba'du, meskipun wadag kita dari lumpur, tidak seharusnya kita bersikap
seperti lumpur Porong yang seenaknya sendiri, merusak ke sana kemari, susah
diatur, tidak jelas maunya. Sebab, dalam wadag kita, Allah meletakkan cahaya
penerang: akal dan hati nurani.


Information From

Tidak ada komentar: