Rabu, 19 November 2008

Teori Konflik

Pada era tahun 1950 – 1960, terutama di Amerika Serikat berkembang berbagai teori tentang sikap prasangka , dan stereotip, yang pada dasarnya sudah mulai menjelaskan tentang sumber terjadinya konflik. Namun perlu di catat bahwa, penjelasan teoritis tersebut, masih melihat konflik pada tingkat individual (Hogg .2003 a) .
Secara ringkas berbagai teori tersebut menjelaskan bahwa dalam interaksi antar individu, ada kecendrungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempersepsi seseorang atau kelompok, dengan cara memberikan ”cap” tertentu kepada individu lain berkaitan dengan sifat-sifat yang khas yang seakan-akan menempel pada individu atau kelompok, misalnya orang dengan etnis X adalah kasar, atau orang dengan ciri fisik tertentu adalah licik. Persepsi yang salah ini atau cap yang diberikan sesuai sifat disebut sebagai stereotip.

Prasangka adalah sikap negatif terhadap individu atau kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya stereotip, yang memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan pengambilan sikap sebelum menilai dengan cermat. Akibatnya terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan sesungguhnya serta terjadi generalisasi. Kecendrungan generalisasi akan akan memberikan dampak negatif jika sasaran prasangka adalah kelompok minoritas, karena akibatnya adalah tindakan diskriminasi.

Pada era tahun 1960 – 1970 pada bidang Psikologi sosial mulai bermunculan teori-teori yang melihat, dan menjelaskan konflik pada tingkat kelompok (Hogg. 2003.b). Yang paling klasik, dan siginifikan pengaruhnya adalah, Realistic Conflict Theory (RCT) dari Muzafer Sherif. Selama puluhan tahun ia melakukan eksperimen tentang proses kerjasama, dan terjadinya konflik antar kelompok, yang solusi untuk menyelesaikan konfliknya adalah menciptakan goal bersama yang menyangkut kepentingan bersama (superordinate goal). RCT menyatakan bahwa dalam hubungan antar dua kelompok selalu terdapat kepentingan yang berbeda , akan terjadi upaya dari satu kelompok meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan kelompok lainnya. Persaingan terjadi karena ada keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya yang diperebutkan oleh kelompok. Kelangkaan tersebut pada sumberdaya alam misalnya minyak, pada kekuasaan politik misalnya Gubernur atau Presiden yang hanya ada satu.

Teori selanjutnya adalah Social Identity Theory/ SIT ( Hogg. 2003. b), dipelopori oleh Henri Tajfel dan John C Turner. Mereka berdua menggariskan bahwa hubungan antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok dan bukan dari perspektif individu. Setiap individu dalam masyarakat dapat dikelompokkan atau di katagorisasi ke dalam berbagai kelompok, misal jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan etnis. Maka terbentuklah identitas, Identitas individu akan mengental menjadi identitas kelompok, setiap kelompok merasa lebih unggul dibanding kelompok lainnya, maka terjadi kecendrungan in-group dan out-group. Dengan masuknya prasangka dan stereotip , maka in-group akan melihat out-group sebagai lawan. Sehingga pada akhirnya terjadi konflik. Menurut SIT identitas social dapat menimbulkan konflik, maka solusi untuk menyelesaikan konfliknya dengan mencairkan polarisasi antara dua kutub yang berkonflik, melalui cara pembauran kedua kelompok.

Sumbangan selanjutnya dari teori Psikologi social dalam upaya menjelaskan dan memahami sumber konflik terjadi pada tahun 1991, dengan dicetuskannya Social Dominance Theory /SDT oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto(Enoch Markum. 2004).
SDT bertitik tolak dari sejumlah pertanyaan, mengapa dalam kehidupan bermasyarakat suatu kelompok menindas kelompok lainnya ? mengapa satu kelompok bertindaka diskriminatif terhadap kelompok lainnya ? mengapa prasangka masyarakatdan Diskriminasi sulit dihilangkan? Jawabannya semua hal tersebut di atas terjadi disebabkan oleh system masyarakat yang berdasarkan kepada kelompok berbasis hirarki social yang dipertahankan oleh kelompok dominant. Keberadaan kelompok dominant versus kelompok sub ordinasi tampak dalam kehidupan bernegara, politik, kantor, bahkan sekolah. Mereka yang dominan dan hegemonik memiliki semua kemewahan, sedang yang sub ordinan mendapat yang terburuk. Posisi kelompok hegemonik dilestarikan melalui mitos yang dilegitimasikan. Peraturan yang ada selalu menguntungkan kelompok dominan. Hal ini menimbulkan konflik yang biasanya berdarah. Solusi untuk menyelesaikan konflik adalah dengan menghilangkan secara tuntas berbagai pranata sosial yang diskriminatif.Serta penegakkan HAM.

Pada area resolusi konflik, kontribusi dari para ahli psikologi sosial yang cukup berpengaruh di berikn oleh Morton Deutsch (1973). Deutsch menyatakan bahwa konflik timbul karena pola hubungan saling ketergantungan yang bersifat negatif antara pihak-pihak yang berkonflik. Setiap konflik mempunyai dimensi kooperatif dan kompetitif sekaligus. Konflik dengan kadar kompetisi yang sangat tinggi cenderung akan menjadi destruktif, sementara konflik dalam iklim kooperasi yang tinggi justru akan menjadi konstruktif. Menurut teori ini tujuan utama dari resolusi konflik adalah bagaimana mengubah dinamika konflik dari yang kompetitif menjadi yang lebih kooperatif.
Kontribusi penting lain serta cukup signifikan adalah dari John Burton yang merupakan tokoh terkemuka dari kelompok Human Needs Theory (1990). Teori ini menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah unsur mutlak dalam pemenuhan kesejahteraan manusia. Konflik dan kekerasan akan muncul apabila satu pihak
Merasa bahwa kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya. Burton membedakan antara pertikaian (dispute), yang merupakan adanya perebutan material yang masih dapat di negosiasikan. Sedangkan konflik (conflict) adalah suatu kekurangan atau deprivasi dalam kebutuhan dasar manusia yang sudah berada dalam taraf tidak bisa di negosiasikan. Konflik identitas menurut Burton merupakan kebutuhan yang tidak dapat di negosiasikan karena identitas merupakan hal yang bersifat mendasar. Untuk melakukan resolusi konflik maka yang harus diupayakan pertama kali adalah terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara konstruktif. Untuk mengurangi timbulnya kekerasan dan konflik terbuka Burton mengusulkan dilakukannya langkah ”provention” yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan secara lebih proaktif mempromosikan lingkungan yang positif untuk memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Kontributor berikutnya dari jajaran ahli Psikologi Sosial adalah Herbert Kelman (1990). Kelman pernah menjadi mediator untuk konflik antara Israel dan Palestina. Kelman memperkenalkan teknik lokakarya untuk pemecahan masalah dalam penyelesaian konflik. Lokarya mengandalkan kepada proses mediasi non-formal oleh pihak ketiga yang disebut sebagai fasilitator dalam mempertemukan orang-orang yang berpengaruh pada kelompok-kelompok yang berkonflik. Tujuan utama dari lokakarya mencapai kesepahaman timbal balik , mengubah persepsi dan sikap terhadap konflik, serta pada akhirnya mengubah pola hubungan diantara pihak yang berkonflik. Kelman perpendapat bahwa perubahan pola hubungan akan membuka jalan untuk penyelesaian konflik yang lebih konstruktif. Kelman menekankan bahwa yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan kolektif, bukan pemenuhan kebutuhan individu partisipan.

Information From

Tidak ada komentar: