Kamis, 04 Desember 2008

Setelah Cinta Pergi

by LailaQ
Rintik hujan yang turun sejak subuh masih belum berhenti. Dengan berlari-lari kecil kusambut loper koran yang tengah berdiri di pintu pagar. "Terima kasih ya," ucapku. Dan buru-buru masuk ke dalam.

"Mas, teh manis," kataku seraya meletakkan koran pagi ini di meja.

"Ya sebentar," jawab mas Kosim, suamiku, dari kamar.

Sambil menunggu suamiku turun, aku membuka halaman koran. Kutangkap berita duka dari seorang token sebuah Ormas Islam terbesar di Indonesia, Di halaman tiga itu terpampang foto yang cukup jelas terlihat disertai profit singkatnya. Dengan hati berdebar kencang kubaca untaian kalimat headlinenya.

"Salad seorang tokoh Ormas Islam dan aktivis parpol terkemuka, H. Zaini, meninggal dunia rnalam kemaren. Almarhum akan dimakamkan di daerafiasalnya, Facet Majalaya, siang ini. Nampak para tokoh dan aktivis Ormas Islam se Jawa Barat Wflielayat ke rumah duka..."

Dari nama dan fotonya aku tidak mungkin salah, Ya! Aku pasti mengenal dia. Tiba-tiba tubuhku terasa lunglai. Mataku berkaca-kaca namun lekas kususut ketika terdengar suara langkah suamiku.

Mas Kosim segera menyambar koran. Ia tampak membaca sekilas-sekilas saja.

"Diminum dulu tehnya, keburu dingin," kataku pelan. Mas Kosim meneguk teh. Matanya tak lepas dari bacaan rutin paginya. Dan berita duka itu pun tak luput dari pengamatannya.

"Oya, Ma, sehabis dari kampus aku tidak langsung pulang," katanya tiba-tiba, agak mengejutkanku.

"Siang nanti aku mau menghadiri pemakaman sesepuh Ormas di Bandung. Tadi malam aku mendapat SMS dari kantor cabang. Beliau inilah orangnya," lanjutnya kemudian. Mas Kosim menunjukkan foto tokoh yang dimaksud, pada halaman koran di hadapannya.

Aku hanya mengangguk. Di tengah kesibukarmya mengajar di kampus, suamiku pun aktif dalam kegiatan Ormas Islam. Ah, ternyata ia mengenal tokoh tersebut.

"Ya, pergilah, Mas," sahutku dengan suara

Aku terpaku menatap foto di surat kabar tersebut. Beberapa saat kubaca berita duka itu selengkapnya. Aku terhenyak. Menurut tulisan dalam profilnya, ternyata H. Zaini hidup menduda, hanya ditemani ketiga putrinya sampai akhir hayatnya.

Aku menghela nafas berat. Air mataku tak mampu lagi kubendung.

"Haji Zaini, Papa...kini kau telah pergi menghadap llahi, Inna lillahi wa inna ilaihi mjiun . . .' desisku, tak sadar menyebut sebuah nama.

Sebuah nama yang tidak asing lagi bagiku. Seseoang yang pernah singgah, mengukir kenangan, beberapa tahun lalu.

"Papa, papa... Maafkan aku, telah meninggalkan dirimu. Membenamkanmu dalam kesepian yang panjang," teriakku dalam hati. Rasa bersalah membebani rongga dada. Penyesalan bertumpuk memenuhi jiwa.

"Apa yang harus kukatakan, setelah semua yang kulakukan padamu? Ingin rasanya aku berlari untuk menatap jasadmu dan bersimpuh di hadapanmu. Aku ingin mengembalikan kebahagiaan yang pernah kau berikan padaku. Karena aku bukanlah orang yang pantas menerima ketulusanmu.
.." Aku terisak sendiri.

Tentu, tidak banyak yang tahu tentang sepenggal perjalanan cintanya bersamaku... Perlahan-lahan bayangan sosok dan wajahnya menjelma dalam kenangan silam. Aku pun terhanyut dalam lamunan panjang bersamanya.

"Kenapa lama?" Tanya Pak Haji Zaini, yang biasa kupanggil papa, latengah berdiri gelisah di depan pertokoan kecil.

"Macet. Lagi pula jarak Uber-Gerlong kan nggak dekat, Pa." Jawabku sambil membenahi jilbabku yang agak berantakan kena angin. Papa tersenyum memandangiku.

"Ya sudah. Yuk! Kita berangkat," ajaknya bersemangat.

Papa memang selalu menungguku di belokan jalan itu untuk bersama-sama berjalan menuju masjid Telkorn di kawasan Gegerkalong, Bandung.

"Hati ini Papa ngisi cermah di mana?" tanyaku.

"Ahad ini kebetulan tidak ada jadwal. Jadi mustami' saja. Dan kita punya waktu panjang," katanya sumringah.

Dalam hati aku senang bukan main. Biasanya, kebersamaanku dengannya hanya sampai pukul sebelas. Karena selepas zuhur, ia harus memberi materi di masjid yang berbeda. Tak jarang, aku pun ikut nadir dalam berbagai kegiatan ceramahnya. Tapi kali ini aku bias berbincang-bincang lebih lama dengan dia. Rasa kangenku terasa membuncah setelah sepekan tidak bertemu.

Tampaknya ceramah sudah berlangsung beberapa menit. Ruang masjid sudah dipenuhi jemaah. Kami duduk di pelataran gedung serba guna yang menghadap tapangan luas, tepat di depan masjid. Di sepanjang pinggirnya ditumbuhi pohon akasia yang rimbun.

Suara ustaz Aam Amirudin menggema dari masjid. Bersama jamaah yang lain aku berusaha mendengarkan dengan seksama.

Aku biasa menghabiskan akhir pekan bersama papa dalam kegiatan pengajian dari masjid ke masjid. Papa membina sejumlah jamaah pengajian di kota Bandung melalui lembaga tempatnya berkecimpung. Dari komunitas ini kami pertama kali bertemu.

Aku mengenalnya sebagai sosok yang simpatik. Berpenampilan rapi dengan balutan jas batik. Peci hitam dan kaca mata plusnya senantiasa dikenakan saat memberi ceramah di depan jamaah pengajian.

Sesekali diam-diam kupandangi lelaki yang duduk tertunduk di depanku. Jantungku berdebar halus tatkala kami beradu pandang. Lalu kami pun saling melempar senyum.

Dua jam tak terasa berlalu. Ustaz Aam mengakhiri cermahnya dengan sebait doa dan salam. Jamaah mulai berhamburan keluar masjid. Sebagian langsung pulang. Sebagian lagi masin duduk-duduk di pinggir lapangan.

"Jangan beranjak dulu, Nad, masih berdesakan/'pintanyamelihatakubersiaphendak berdiri. Aku pun duduk kembali di sampingnya,

"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."

"Apa itu?"

"Tahun depan insya Allah aku akan membawamu berangkat ibadah haji," sahutnya dengan nada kalem.

"Apa? Papa mau mengajakku ibadah haji?" tanyaku kaget bercampur gembira.

"Insya Allah. Doakansaja."

"Berarti kita harus rnuhrim terlebih dulu. Apakah Papa akan... ?" Aku tak berani meneruskan pertanyaan itu. Aku takut dianggap lancang. Kutatap wajahnya yang tampak berbinar-binar.

"Tentu. Aku akan mengurus semua keperluan kita sampai beres. Kau tak perlu memikirkan apa-apa," katanya, membuatku seakan sudah berada di tanah suci bersama suamiku. Ah, anganku melambung tinggi. Aku sangat bahagia.

Entah kenapa aku begitu mencintainya. Aku merasakan debar-debar indah itu semakin kerap menyelinap dalam kalbu. Dan aku selalu ingin berlama-lama memandangi raut wajah simpatik itu. Padahal ia bukan lagi pria muda yang sebaya denganku. Usianya hamper empatpuluh lima, dengan status duda yang memiliki tiga anak perempuan yang menginjak dewasa. Sedangkan aku, gadis yang masih belia. Namun hal itu tidak membuatku merasa risih dan malu. Bukankah cinta tidak memandang usia?

"Nadia, terkadang aku merasa tidak yakin dengan perasaanmu padaku. Tapi melihat kesungguhanmu, aku sangat berterimakasih, kau telah mencintai dan menyayangiku," ungkapnya pada suatu kesempatan, seusai memberi ceramah di masjid Istiqomah.

"Sekarang aku yakin, aku akan memilihirm dan mempercayakan perasaan cintaku. Selama berumah tangga aku tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya. Aku hanya menuruti kehendak orang tua semata," tuturnya dengan suara dalam.

"Tahukah kau, Nad?" Baru kali ini aku merasakan getar cinta dan kerinduan padamu," katanya sambil menatapku lembut. Membuat pipiku terasa merona. Betapa bahagianya hatiku mendengar ungkapan tulusnya.

"Maukah kau menjadi istriku?" Aku hanya mengangguk sambil tersipu malu.

"Aku takkan pernah mengkhianatimu. Akan setia selamanya seumur hidupku...," janjinya sunguh-sungguh.

"Kapan mau datang menghadap orang tuaku?" tanyaku. Sejenak ia terdiam. Aku pun bersabar menunggu kalimat yang akan meluncur berikutnya. Dan, aku sudah siap jika ia akan memperistriku secepatnya.

"Kau sendiri kapan bersedia menerima kedatanganku?" tanyanya kembali.

"Lusa, besok pun aku siap," tantangku mantap. Tawanya pun meledak seketika.

"Betul?"

"Papa tidak percaya?"

"Kurasa kau perlu menyiapkan mental terlebih dulu untuk menjadi istri seorang aktivis ormas sepertiku. Aku akan sering meninggalkanmu karena harus menghadiri acara atau mengurus kepentingan organisasi atau partai," sahutnya.

"Tidak apa-apa. Asalkan papa tetap setia dan selalu mencintaiku," kataku tersenyum manis. Ya, aku sangat mencintai dan mengaguminya. Aku ingin memberikan seluruh cinta yang tak pernah ia peroleh selama ini. la tampak begitu bahagia dapat mencintaiku.

Di luar kapasitasnya, ia tetap seorang lelaki biasa yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang seseorang.

Begitulah. Kami lalui hari-hari dengan menghadiri kegiatan pengajian. Berdiskusi tentang masa depan, mengupas masalah yang tengah hangat dalam perpolitikan negeri ini. Atau sering pula sekadar ngobrol santai sambil makan roti bakar dan kacang rebus favorit kami.

Sampai suatu hari aku mengalami peristiwa yang tidak pernah aku duga. Ahad siang itu, setepas menghadiri pengajian, aku bermaksud membeli keperluan kuliah di sebuah plaza.

Kumasuki plaza yang biasa kudatangi bersama papa. Kali ini aku datano, sendiri karena papa sedang ada urusan dengan ormasnya di Tasikmalaya. Selesai membayar di kasir, aku langsung menuruni eskalator.

Tanpa sengaja mataku memandang ke arah barisan orang-orang yang sedang menaiki eskalator. Nampak lelaki yang selama ini dekat denganku tengah berjalan dengan seorang wanita.

Di sebelah kanan dan kirinya bergelayut manja tiga gadis yang sebaya denganku.

"Papa...," bisikku.

"Sedang apa di sini? Bersama siapa?" tanyaku dalam hati. Aku berusaha memperhatikan mereka lebih jelas lagi. Gadis-gadis yang bergandengan tangan itu mirip sekali dengan papa. Juga mirip dengan wanita yang berjalan bersma mereka. Gadis-gadis itu seolah perpaduan antara papa dan mamanya.

Aku mengikuti mereka dari kej'auhan. Mereka berjalan beriringan. Tampak mesra dan harmonis sekali.

"Pasti papa bersama anak perempuan dan mamanya...," bisik hatiku kecut. Kurasa aku cemburu. Hatiku panas dibuatnya. Mungkinkah mereka akan bersatu kembali? Ah, perasaanku tak karuan. Api cemburu berkobar-kobar membakar dada.

Sudah jelas semuanya bagiku. Aku berlari keluar plaza itu dengan berurai air mata. Duh! Betapa sakitnya hatiku.

Lalu berhari-hari aku mengurung diri dalam kamar. Menangis dan mempertanyakan mengapa dia tidak setia pada cinta. Berkali-kali telepon darinya tak kujawab. Juga panggilan ponsel dan SMS nya tidak kupedulikan. Ya, ya, tentu saja anak-anaknya yang sedang remaja itu lebih memerlukan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya.

Dua minggu berikutnya aku memutuskan untuk mengakhiri segala hubungan dengannya.

"Papa, rasanya kita tidak bias meneruskan hubungan ini. Sebelum semuanya terlambat lebih baik kita selesaikan sampai di sini," kataku, mengajukan perpisahan.

"Ada apa, Nad? Tiba-tiba bicara begitu." Ia tampak terkejut.

"Jangan pura-pura. Papa akan kembali pada keluarga papa, kan?" tandasku.

"Ada apa, sayang? Ceritakan padaku." la berusaha menenangkan diriku. "Ahad itu aku melihat papa bersama anak dan mantan istri papa sedang berjalan di plaza. Memang sudah seharusnya papa memperbaiki hubungan dengan mereka..." Aku tak mampu lagi menyem bunyikan kesedihanku.

"Nad, Nad, tunggu dulu. Dengarkan aku. Itu hanya kebetulan. Ibunya sedang ada urusan di sini. Lalu anakku mengajak kami ke plaza itu untuk membeli keperluannya. Apa aku salah?" tuturnya menjelaskan.

"Tidak! Papa tidak salah. Kembalilah pada mereka," kataku dengan nada dingin.

"Nadia, antara aku dan ibunya tidak ada perasaan apa-apa. Aku tidak tidak dapat menerima keputusanmu."

"Terserah. Pokoknya aku tidak mau lagi bertemu papa. Hubungan kita sudah berakhir," kataku terengah-engah menahan amarah. Tangisku pun tersendat.

"Nad, tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk membuktikan ucapanku?"

"Tidak ada yang perlu dibuktikan. Semuanya sudah jelas terbukti. Jadi, jangan temui aku lagi," teriakku diiringi isaktangis dan air mata yang terasa makin deras.

"Baik, baik. Aku hormati keputusanmu. Tapi satu hal yang harus kau camkan. Aku tak akan pernah menitipkan perasaanku pada siapa pun," sahutnya bijak. Ia selalu bersikap arif tatkala menghadapi sikap kekanak-kanakanlku yang setiap saat bisa muncul.

Tapi sungguh! Aku ingin segalanya cepat berlalu. Aku ingin melupakannya.

Enam bulan kemudian aku menikah dengan mas Kosim, laki-laki yang dikenalkan ayah padaku. Aku pun diboyong ke rumah baru dan mulai hidup berkeluarga di kota hujan, Bogor Sejak menikah dengan mas Kosim, hanay sekali saja aku bertemu dengan Pak Haji Zaini. Ia hadir sebagai mubalig inti dalam acara milad organisasinya di kota Bogor. Mas Kosim memintaku untuk mendampinginya dalam acara itu.

Pertemuan yang tak pernah kusangka itu pun masih menyisakan perasaan kagumku yang begitu besar opadanya. Sosok simpatik itu masih tetap seperti dulu. Balutan jas batik, kacamata plus dan peci hitamnya menjadi asesoris yang tak pernah terlupakan. Seakan menambah daya karismatik dirinya.

Ketika ia berdiri di atas mimbar mulai mengucapkan salam mukaddimahnya, aku bagai terpesona oleh wajah dan suara yang pernah lekat di hatiku. Ah, betapa lama aku tidak melihat sosoknya. Di antara ratusan hadirin, aku duduk tenang menyimak ceramahnya selama satu jam.

Aku tak menduga kalau ternyata ia masih mengenalku. Saat acara ramah tamah dan makan siang, ia menyempatkan diri menyapaku.

"Kau Nadia, bukan?" tanyanya santun sambil tersenyum ramah. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

"Dan Kosim itu suamimu, kan?" tanyanya lagi. Aku menoleh ke arah suamiku yang tengah berbincang dengan rekan-rekannya dari berbagai daerah.

"Ya, betul," jawabku singkat.

"Bagaimana kabar keluarga Pak Haji?" tanyaku penuh diplomasi. Aku tidak ingin mengingat masa lalu.

"Baik, alhamdulillah."

"Nadia, kau sudah banyak berubah sekarang. Kau tampak jauh lebih dewasa," ujarnya seraya memandangku. Ah, pandangan itu serasa menyimpan rindu. Dan, aku pun masih merasakan debar-debar halus saat menatapnya.

"Terima kasih. Mungkin karena aku sudah memiliki kehidupan yang berbeda," kataku tanpa bermaksud membuatnya tak enak hati.

Ia tersenyum penuh arif. Dan, senyum itu sempat mengobati rasa sakit hatiku.

Aku berpamitan dan menghampiri suamiku yang kelihatan sedang mencariku.

Setelah cinta pergi yang tertinggal hanya serpihan memori yang tak kunjung beranjak dari hati. Meski janji itu tak pernah terpenuhi, cinta tak pernah melukai. Hujan semakin deras membasahi bumi. Turut menghantarkan kepergian seseorang ke pembaringan terakhirnya. Dedaunan tampak berjatuhan dari tangkai pohon akasia di depan rumahku. Begitu pun air mataku berjatuhan, berderai membasahi pipi.

"Selamat jalan, Papa. Semoga kau bahagia di Haribaan llahi," sejumput doa kubisikkan untuknya.

Pukul sembilan malam, mas Kosim baru pulang.

"Maaf Ma, kau lama menungguku," katanya.

"Sudah selesai pemakamannya, Mas?"

"Ba'da asyar beliau baru dimakamkan. Menunggu anggota ormas dari daerah yang ingin menghadiri pemakamannya. Beliau seorang yang loyal dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan organisasi dan partai. Sudah tentu banyak kalangan yang merasa kehilangan," ujar mas Kosim.

Air mataku tak terasa menetes di pipi. Hatiku luruh mendengar penuturan suamiku.

"Ada apa, Ma? Kau menangis?" Mas Kosim memeluk diriku dengan cemas. Aku hanya terdiam.

"Kau marah padaku? Kau pasti merasa kesal, Ma. Aku sering meninggalkanmu sendirian untuk urusan organisasi. Maafkan aku, Ma," ucap suamiku. Ia meraih wajahku dan mengecup sayang keningku.

"Aku tidak apa-apa, Mas." Kususupkan wajahku ke dadanya.

Ah, aku tak sanggup menceritakan semua yang kurasakan saat ini pada suamiku. Namun, aku berjanji suatu hari nanti pasti akan kuceritakan sepenggal kisah lalu itu.

Tidak ada komentar: