Kamis, 19 Februari 2009

Ilmu Dikomersilkan? Ironi Komersialisasi Perguruan Tinggi Negeri

Assalamu'alaikum wr wb,
Dalam Islam ilmu itu harus diajarkan kepada yang lain. Ilmu yang bermanfaat merupakan satu amal yang pahalanya terus mengalir meski yang mengajarkannya sudah meninggal.

Namun sayangnya saat ini ilmu justru dikomersilkan. Biaya PTN dengan adanya UU BHP justru semakin mahal karena PTN diprivatisasi.

Silahkan lihat berita di bawah.

Mudah2an ummat Islam bisa melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan lepas dari fanatisme kelompok agar ilmu terjangkau bagi seluruh rakyat.

Wassalam

http://www.medanbisnisonline.com/2009/01/29/ironi-komersialisasi-perguruan-tinggi-negeri/
Ironi Komersialisasi Perguruan Tinggi Negeri
Rubrik Khusus 29-01-2009

Oleh: Badikenita Putri Sitepu SE MSi Cand. Doktor
SELAMA ini pendidikan diyakini mampu memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan status sosial seseorang. Dalam perjalanannya, sistem pendidikan di Indonesia mengalami suatu pengalihan tanggung jawab terkait kepentingan konstelasi politik ekonomi (economic political interest) era globalisasi.

Akibatnya, sistem pendidikan nasional masuk ke dalam pusaran standar ekonomi pasar bebas, terutama per- guruan tinggi negeri (PTN), sehingga biaya kuliah di PTN semakin mahal.

Berbagai model penerimaan mahasiswa baru pada kebanyakan PTN, terutama yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dikeluhkan masyarakat karena biaya masuk yang terlampau tinggi telah memberatkan para calon mahasiswa. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai jalur.
Beragam nama pun muncul, mulai dari jalur umum, jalur khusus, jalur prestasi, jalur alih jenjang, dan sejumlah nama lainnya. Pada jalur umum di sejumlah PTN, dikabarkan biaya masuk bisa mencapai Rp 100 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional pendidikan (BOP) yang bervariasi.
Bahkan tarif yang cukup mahal juga berlaku bagi calon mahasiswa yang menempuh jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Apalagi jalur khusus, yang biasa disebut “jalur tol”, biaya masuk PTN itu bisa lebih mahal lagi. Dan anehnya, PTN tidak segan-segan memberikan lebih dari separuh porsi penerimaan mahasiswa baru untuk “di- jual” lewat jalur khusus ini.
Dengan demikian, para peserta didik dari keluarga miskin tersingkir karena tidak mampu membayar biaya masuk PTN ataupun perguruan tinggi swasta (PTS) yang mahal. Alhasil, anak-anak yang bukan dari keluarga kaya terpaksa masuk ke universitas yang biayanya murah dengan kualitas rendah. Padahal, banyak di antara mereka yang berotak cemerlang sebagai bibit unggul generasi muda harapan bangsa.
Privatisasi
Agar mampu bersaing di pasar global, PTN harus memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola institusinya sendiri tanpa campur tangan dari pihak manapun, termasuk pemerintah. Hal itu merupakan bahan pertimbangan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang penetapan PTN melalui konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP), sehingga terbentuk Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).
Aksi demonstrasi besar- besaran dari kalangan mahasiswa beberapa bulan lalu antara lain dari Universitas Hasanuddin, Makassar, secara konsisten menolak konsep BHP. Hal itu merupakan sinyal bahwa BHP bukan alternatif solusi yang tepat untuk memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan. BHP merupakan aroma baru bagi komersialisasi pendidikan tinggi. Menurut konsep BHP, semua bentuk lembaga pendidikan tinggi harus masuk ke dalam privatisasi. Suatu saat nyaris tidak ada lagi perbedaan antara PTN dan PTS. Asumsi bahwa biaya kuliah di PTN lebih murah daripada di PTS akan sirna. Bahkan biaya kuliah di PTN bisa lebih mahal daripada di PTS. Atas dasar konsep BHP, maka PTN dibolehkan mencari sumber-sumber dananya secara mandiri.
Guna mengejar ketertinggalan agar tidak gulung tikar, PTS-PTS juga bersaing dengan program-program baru yang dibuka oleh PTN. PTS yang sudah besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha atau pemodal besar, sehingga semakin maju. Sedangkan PTS yang tidak siap bersaing dan sulit dilirik para kapital akan tertinggal di tengah ke- tatnya persaingan pasar. Dengan adanya privatisasi, bisa dipastikan biaya pendidikan di PTN akan semakin mahal.
Pada sisi idealisme pen- didikan, upaya pengesahan RUU BHP merupakan pelanggaran fundamental dari segi pedagogi, yaitu pendidikan sebagai kebaikan bagi semua orang. Pendidikan, dalam pandangan Paulo Freire, harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk bebas dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan. Ada semacam sinyalemen bahwa pembentukan PT BHMN memberikan kesempatan para pimpinannya untuk menyisipkan aroma politis yang bisa melanggengkan kepentingan mereka.
RUU BHP adalah lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional dengan memberi keleluasaan PT BHMN untuk mencari pemodal yang bersedia membiayai penyelenggaraan pendidikan (pasal 2 alternatif). Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Mendiknas mencanangkan upaya mem-BHP-kan 81 PTN se-Indonesia, minimal 50 persen hingga 2009, menjadi kontradiktif dengan Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu menyelenggarakan pendidikan yang murah, mudah, dan dapat diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi (pasal 4 (1) UU No 20/2003).
Dampak Buruk
Sebagai akibat komersialisasi, pendidikan kita semakin menjauh dari hakikatnya sebagai proses untuk menginternalisasika

n sekaligus menumbuhkembangkan nilai-nilai kejujuran, rasa peri kemanusiaan (empati, keadilan, kasih sayang, kebersamaan, solidaritas), kemandirian, pemikiran mendalam, dan budaya dialog.
Lembaga pendidikan menjadi ajang bisnis atau lahan pencarian laba. Bukan hanya dunia kerja/usaha yang komersial, tetapi lembaga pendidikan pun dijadikan pasar. Tidak pelak lagi, pendidikan lebih banyak mencetak para lulusan yang taat pada kaidah-kaidah pencarian laba bagi diri sendiri ketimbang peduli pada kualitas kemanusiaan, kehidupan, dan keberadaban.
Padahal, pendidikan nasional harus dapat mencerdaskan bangsa (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual) untuk mencetak putra-putri terbaik yang mampu membaca tanda-tanda zaman. Kebrutalan sebagian mahasiswa dan warga bangsa terhadap nyawa serta nasib sesama manusia bisa memandu kita untuk melihat salah satu akar masalah dari kegagalan pendidikan di negeri ini. Kasus paling mencolok antara lain tindak kekerasan yang pernah berulang-ulang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa senior di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) terhadap juniornya.
Pendidikan adalah usaha dan proses pemanusiaan generasi muda, pemilik masa depan bangsa dan negara ini. Celakanya, sekarang semakin banyak perguruan tinggi yang hanya memperhatikan aspek-aspek terkait sumber daya manusia (SDM) dalam pengertian pragmatis semata. Pendidikan SDM tanpa disertai komitmen terhadap nilai-nilai moral, telah membuat banyak orang berusaha untuk menghindari ketentuan hukum yang dianggap merugikan diri sendiri, sebab dalam benaknya hanya sebatas memikirkan untung-rugi.***
Penulis adalah dosen tidak tetap FE USU Medan/Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi UI Jakarta/Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa/i Pascasarjana Ekonomi UI Jakarta

Tidak ada komentar: