Senin, 23 Februari 2009

Sekilas Six Sigma


Pendahuluan


Dewasa ini tuntutan pelanggan terhadap produk/jasa yang bebas-cacat (zero-defect) semakin meningkat. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, banyak konsep manajemen mutu diterapkan dan bahkan beberapa perusahaan ada yang sudah mengklaim bahwa produk/jasanya bebas-cacat.

Namun apakah produk/jasa bebas-cacat mencerminkan prosesnya juga bebas-cacat? Ternyata dibalik label tersebut sering dijumpai bahwa prosesnya dihasilkan melalui proses rework, reprocess, inspeksi, dan proses lain yang tidak memberi nilai tambah.

Dapatkah perusahaan mencapai level mutu tinggi (bebas-cacat) tetapi tetap profitable? Melalui pendekatan "menciptakan produk/jasa bebas-cacat sejak awal proses" yang menjadi landasan dalam konsep Six Sigma, diharapkan mampu memuaskan pelanggan dan stakeholder.

Konsep Six Sigma yang dimotori oleh Motorolla, Inc. ini merupakan konsep peningkatan mutu yang mengoptimalkan penerapan teknik statistik sejak desain hingga proses operasional untuk menjamin produk bebas-cacat.


Sejarah

Six Sigma adalah seperangkat kegiatan yang mulanya dikembangkan oleh Bill Smith di Motorola pada tahun 1986 dalam rangka memperbaiki proses-proses secara sistematis melalui eliminasi cacat. Cacat (defect) sendiri didefinisikan sebagai ketidaksesuaian produk atau jasa terhadap spesifikasi dan/atau persyaratannya (ref[1]).

Seperti juga metode-metode pendahulunya, seperti: quality control (QC), total quality management (TQM), dan Zero Defect, Six Sigma menganut konsep-konsep berikut (ref[1]):

. Upaya berkesinambungan dalam mengurangi variasi dari keluaran proses merupakan kunci keberhasilan bisnis

. Proses bisnis dan manufaktur dapat diukur, dianalisis, diperbaiki dan dikendalikan

. Keberhasilan mempertahankan mutu memerlukan komitmen dari seluruh personil dalam organisasi, mulai dari manajemen puncak hingga operator

Bill Smith sebenarnya tidak "menemukan" Six Sigma, lebih tepat dikatakan, ia mengkombinasikan alat-alat mutu yang telah tersedia sejak tahun 1920-an oleh pendahulunya, seperti: Shewhart, Deming, Juran, Ishikawa, Ohno, Shingo, Taguchi and Shainin, sehingga menjadi serangkaian metodologi yang solid dan menghasilkan manfaat lebih besar ketimbang jika digunakan secara terpisah.
Bill Smith juga menerapkan tingkatan kompetensi personil mengikuti aturan seni beladiri Jepang, seperti: "Yellow Belt", "Green Belt" dan "Black Belt" (ref[1]).


Definisi

Sigma diambil dari huruf kecil ke-18 dari alfabet Yunani (ó), dan digunakan dalam ilmu statistik sebagai simbol stadar deviasi. Istilah "six sigma"sendiri berasal dari pengertian bahwa jika suatu nilai berada pada keadaan 6ó antara titik tengah dengan batas deviasi terdekatnya, bisa dikatakan secara praktis tidak akan ada produk gagal (ref[1]).

Pendekatan pengendalian proses 6ó dari Motorola mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata dari proses industri sebesar ± 1,5ó sehingga akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar 3,4 per sejuta kesempatan (3,4 DPMO = defects per million opportunities), artinya setiap satu juta kesempatan akan terdapat kemungkinan 3,4 ketidaksesuaian (ref[3]).

Konsep ini berbeda dengan konsep 6ó teoritiknya yang dihitung berdasarkan distribusi normal terpusat (normal distribution centered) akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar 0,002 DPMO. Perbedaan konsep ini ditunjukkan pada Tabel 4 (ref[3]).

Tidak ada komentar: