www.aksicepattanggap.com
Abah, demikian orang memanggilnya. Puluhan tahun ia mengabdikan hidupnya di masjid sebagai marbot, alias pemelihara masjid. Sebelum pindah ke Tangerang kira-kira belasan tahun lalu, ia juga menjalani hidupnya sebagai marbot di Barat Jakarta . Posisinya tergantikan oleh petugas yang lebih muda dan lebih berenergi sehingga mengharuskannya pindah ke Tangerang. Beruntung ia, salah seorang keponakannya di Tangerang menjabat sebagai salah satu pengurus masjid. Maka, Abah pun menetap di masjid itu bersama keluarganya. Tugasnya tetap sama, sebagai pemelihara masjid.
“Ini tugas yang mulia. Saya sangat senang menjalani tugas ini,” ujarnya suatu kali.
Ada saat-saat yang selalu membuatnya gembira, seperti ketika masjid ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji. Meski ia harus dibuat lelah dengan polah anak-anak yang mengotori masjid dengan kaki-kaki kotor mereka, namun Abah justru bertambah senang. “Masjid sepi kalau tidak ada mereka. Soal masjid yang kotor, itu sudah menjadi kewajiban Abah. Justru Abah tambah senang, artinya amal Abah tambah banyak” Jelas, tak semua orang mampu berhati lapang sepertinya.
Demikian pula, ada saat-saat yang kadang membuatnya menitikkan airmata. Salah satu agenda tahunan yang kerap membuatnya sedih adalah hari raya Idul Adha, tatkala banyak kaum muslim yang berqurban untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Qurban, hakikatnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara menunjukkan wujud cinta berbentuk sebuah pengorbanan. Adalah Ayahanda Ibrahim yang mengajarkan hakikat cinta seperti ini bersama Ananda Ismail dan ibunya Siti Hajar.
“Abah ingin sekali suatu saat bisa berqurban seperti jamaah lainnya,” ungkapnya tentang sebuah cita-cita yang selama ini baru sebatas mimpi bagi Abah. Ya, Abah tahu persis honornya sebagai pemelihara masjid membuatnya merasa hampir mustahil bisa membeli seekor domba untuk dikurbankan. “Berapa harga seekor kambing sekarang nak?” suatu kali Abah bertanya. Setelah tahu harga yang dimaksud, Abah pun tertunduk lesu. “Entah kapan Abah bisa berqurban seperti orang lain…” lirihnya.
Abah mengaku, ia selalu iri dengan orang-orang yang bisa berqurban setiap tahun. “Orang yang berqurban berarti orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Mereka telah membuktikan sebentuk cinta kepada Tuhan dengan cara berqurban. Ini yang membuat Abah iri, Abah belum bisa mempersembahkan seekor pun untuk dikurbankan,” katanya.
Tetapi Abah bukanlah sosok pemurung yang mudah putus asa. Begitu ia tahu tak mungkin membeli seekor domba, maka bertahun-tahun ia menjalani peran sebagai panitia qurban. Setiap kali penyelenggaraan pemotongan hewan qurban, Abah tak pernah absen berdiri paling depan sebagai panitia. Meski kadang ia mendapat tugas khusus, yakni membersihkan kotoran hewan-hewan yang sudah disembelih. Tak hanya itu, setiap sore saat petugas dan panitia lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing, Abah masih harus membersihkan halaman masjid dari kotoran dan bercak darah yang menempel di lantai masjid.
“Kalau pun saya tidak bisa berqurban langsung, setidaknya Allah tahu Abah berada di tengah-tengah orang yang berqurban. Artinya Allah melihat Abah bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan menunjukkan cinta kepada Allah,” terangnya bahagia.
Abah, usianya sudah menginjak tujuh puluh. Ia pun tak lagi bertugas memelihara masjid, namun tak pernah redup semangatnya untuk hadir di hari pemotongan hewan qurban. Tangannya sudah lemah, tenaganya pun sudah berkurang. Tahun lalu, tangan gemetarnya masih memegang sebilah pisau untuk membantu memotong-motong daging qurban. Sesekali ia bersandar di tembok masjid untuk melepas lelah, tak lama ia kembali bergumul dengan daging-daging qurban itu.
Lama sosoknya tak lagi terlihat, mungkin di hari pemotongan hewan qurban tahun ini ia akan muncul lagi. Lengkap dengan sebilah pisau di tangan gemetarnya. Abah, lelaki renta di penghujung usianya terus berjuang merajut cinta, di saat sebagian besar orang mampu membeli cinta Allah dengan berqurban. (Gaw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar