Jumat, 24 Oktober 2008

Ada Apa Pa? Ada Apa Wanda?

Ada Apa Pa?
Ada Apa Wanda?
Oleh Sopian Hadistiara
Cerpen
Wanda merasakan ada sesuatu yang lain dengan perilaku papanya. Sebab sikap sang papa yang biasanya periang, akhir-akhir ini sering melamun dan menjadi lebih pendiam. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Bahkan ketika papanya itu memasuki rumah - saat pulang dari kantor - suara lantang memanggil-manggil Wanda tidak pernah terdengar lagi.

"Mungkinkah papa sedang menghadapi masalah dengan pekerjaannya di kantor?" kata hatinya.

"Papa punya masalah ya, dengan pekerjaan di kantor?" tanyanya suatu ketika mengagetkan orangtua itu yang tengah duduk tak bergairah di sofa ruang tengah.

"Oh anu! Iya," jawab papanya terbata-bata. ; "Iya apa, Pa?"

"lya, Papa sedang banyak masalah di kantor," ujarnya sambil memaksakan diri untuk tersenyum.

"Mungkin sebaiknya Papa cuti kerja aja dulu," saran Wanda.

"Tidak Wanda. Justru kalau...."

"Kalau apa, Pa?" potong Wanda penasaran.

"Nggak apa-apa. Pasti masalah pekerjaan di kantor bisa papa selesaikan. Percaya deh, sama papa, ya!" katanya sambil terus tersenyum.

Jawaban-jawaban papanya ternyata tidak membuat gadis cilik berusia empat belasan itu merasa puas. Tapi justru mengundang berbagai pertanyaan di dalam hatinya. Bahkan Wanda merasa, papanya seperti telah berbohong. Entah karena kebohongan itu terlihat oleh Wanda dari sorot mata papanya, dari cara menjawabnya, atau mungkin karena kekuatan perasaan batin seorang anak. Namun demikian, Wanda tidak segera menunjukan ketidakpuasannya itu.

Hari berganti hari ternyata tidak membuat lelaki tersebut terlepas dari kebiasaannya yang sering melamun. Wanda yang diam-diam terus memperhatikan keganjilan tingkahlaku lelaki itu, semakin merasa iba melihatnya.

Untuk ketiga kalinya Wanda mendapat jawaban yang sama ketika ia bertanya mengenai sikap dan perilaku papanya. Wanda semakin yakin, bahwa papanya berbohong.

"Mungkinkah papa kesepian, karena sudah hampir dua tahun mama meninggal. Jadi papa..., mungkinkah… Tapi…" Wanda terus bertanya-
tanya dalam hatinya hingga ia sendiri merasa cemas. Cemas apabila yang dialami papanya ternyata memang seperti yang dipikirkannya itu.

Karena Wanda pun semakin merasa iba melihal papanya yang suka murung dan terkadang menyendiri, ia akhirnya mencoba mengungkapkan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.

"Papa jangan berbohong terus deh, sama Wanda. Ada apa sih sebenarnya, hingga sudah seminggu ini papa sering terlihat murung dan melamun?" desaknya. "Papa kesepian, ya?"

"Ah tidak!" jawab papanya seperti tersentak.

"Sudah deh, Pa? Jangan ngebohongin Wanda terus. Kata papa kita tidak boleh berbohong. Dosa!" tegas Wanda. Sementara itu papanya terlihat menarik napas panjang seperti merasakan suatu beban.

"Benar kok, papa nggak apa-apa. Hanya masalah pekerjaan di kantor," kilahnya datar.

Wanda tetap tidak percaya ucapan papanya. Ia terus mendesak dengan perkataan yang sempat membuat orangtua itu terkejut.

"Papa pasti kesepian ya setelah ditinggal mama. Papa juga pasti butuh perhatian ya...mungkin papa...."

"Mungkin apa?" tanya papanya penasaran.

"Mungkin perlu ada yang ngurusin papa."

"Maksud Wanda?" ujar lelaki itu seperti berpura-pura tidak mengerti. Sedangkan Wanda melihat adanya perasaan senang yang terpancar dari sorot mata papanya.

"Wanda nggak keberatan, kok, jika Wanda punya mama baru," pancing Wanda, Mendengar ucapan Wanda seperti itu, kontan saja sang papa terlihat begitu bersemangat menanggapinya.

"Apa Wanda rela jika papa menikah lagi dan Wanda punya mama tiri," katanya dengan pancaran mata berbinar penuh harap memandangi wajah Wanda. Wanda pun menangkap pancaran itu dan ia semakin tergugah untuk segera mengiyakannya. Meskipun sebenarnya, jauh dilubuk hatinya, Wanda merasa belum siap menerima wanita yang akan menggantikan peran mama kandungnya.

"Wanda rela, kok, Pa?" ucapnya pelan.

"Syukurlah kalau memang begitu. Sebenarnya papa sudah punya calon yang akan menjadi mamamu. Namun papa belum berani mengenalkannya padamu. Ia wanita yang baik, dan papa yakin ia pun dapat memberimu kasih sayang. Tapi karena sekarang Wanda.... Nanti papa kenalkan deh. Sebab sudah lama calon mamamu itu ingin mengenal Wanda," jelasnya dengan penuh gairah.

Sebulan kemudian, Wanda menerima kenyataan bahwa kini ia telah mempunyai mama baru. Awalnya ia cukup senang dengan kehadiran wanita tersebut. Namun tak lama kemudian, kehadiran Restu, mama tirinya itu, menimbulkan perasaan lain di hati Wanda. Nampaknya anak gadis itu cemburu. Ia merasa papanya kini lebih memperhatikan wanita tersebut daripada dirinya. Akibatnya, Wanda sering teringat mama kandungnya yang telah tiada dan larut dalam lamunan dan kesedihan.

"Ma...Wanda kangen sama mama. Kenapa mama cepat-cepat ninggalin Wanda. Ma, Wanda kangen sama mama...," ujar Wanda dengan suara tersedu-sedu sambil memandangi potret mamanya yang terpampang di dinding kamarnya. Setetes demi setetes air mata membasahi pipi gadis cilik nan cantik ini.

Rasa cemburu pada mama tirinya dan rasa kesal pada papanya membuat Wanda bingung apa yang harus dia perbuat. Tapi ia tidak berani mengungkapkan perasaan tersebut pada mereka termasuk pada papanya. Wanda menyadari, keberadaan Restu di tengah-tengah keluarga itu juga karena tawarannya. Selain itu ia pun tidak ingin papanya tersinggung.

Wanda hanya bisa memendam perasaannya, sehingga batinnya tersiksa. Akibatnya tak jarang ia mengekspresikan perasaannya itu dengan sikap yang dapat menimbulkan kejengkelan dan kemarahan bagi siapa pun yang tidak mampu bersikap bijaksana dalam menghadapinya. Untungnya, Restu dapat dikatakan termasuk wanita yang cukup bijaksana, sehingga tidak terlalu sulit baginya menghadapi sikap-sikap Wanda tadi. Dia menyadari, jika dirinya mencintai papanya Wanda dan bersedia menjadi istrinya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk menganggap dan memperlakukan Wanda seperti anaknya sendiri.

"Ada apa sayang? Apa ada yang salah dengan sikap mama selama ini? Katakanlah, mama nggak bakal marah, kok," sapa Restu sambil membelai rambut anak perempuan yang tengah cemberut itu.

Meskipun berulangkali Restu bertanya, Wanda tetap bungkam. Bahkan terkadang ketus dalam menanggapinya. Namun sebagai seorang ibu yang penuh perhatian, akhirnya Restu dapat memahami apa yang dirasakan Wanda. Dia merasa kasihan melihat Wanda yang terombang ambing dengan perasaannya.

"Pa? Sepertinya Wanda belum sepenuhnya menerima kehadiran mama di sini. Memang, awalnya sih, mama melihat Wanda mencoba untuk dapat menerima kehadiran mama. Namun kini dia tidak bisa melawan perasaannya sendiri," jelas Restu. "Wanda cemburu, Pa. Mama yakin itu. Mungkin karena kasih sayang dan perhatian papa kini harus terbagi sama mama," lanjutnya.

"Sebenarnya papa juga sempat melihat adanya keanehan dengan sikap Wanda akhir-akhir ini. Kasihan anak itu," ujar suaminya.

"Demi kebaikan Wanda, untuk sementara waktu sebaiknya mama tinggal dulu sama orangtua di Bogor. Toh, Jakarta-Bogor tidak terlalu jauh, bisa terjangkau kalau ada apa-apa. Mama tidak ingin kehadiran mama di sini hanya akan membuat batin Wanda terus tersiksa."

Walaupun lelaki itu menerima alasan istrinya, ia tetap bermaksud menanyakannya pada Wanda. Berkali-kali ia bertanya pada Wanda, namun anak itu tetap diam seribu bahasa. Bahkan ia lebih memilih bergegas ke kamarnya dan mengunci diri. Lelaki itu merasa kebingungan dengan sikap anaknya hingga akhirnya ia menyetujui usul istrinya.

Benar. Setelah Restu meninggalkan rumah tersebut, wajah Wanda tidak lagi terlihat cemberut dan mengunci diri di kamar. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Ketika papanya kian sibuk dengan pekerjaan kantornya dan beberapa harus diselesaikan di rumah, bahkan tak jarang pula harus diselesaikan di luar kota, membuat Wanda kembali kesepian. Bi Minah, pembantu di rumah itu, berusaha menghiburnya, namun tidak mecairkan rasa kesepian Wanda. Begitu pula dengan kehadiran kakek-neneknya yang pada waktu-waktu tertentu datang mengunjunginya.

Larutnya Wanda dalam perasaannya itu membuat dirinya tiba-tiba sering teringat pada perhatian dan kasih sayang Restu. Dia teringat ciuman mama tirinya itu pada pipi dan keningnya saat akan pergi sekolah dan menjelang mau tidur. Wanda pun tak lupa dengan kesabaran wanita tersebut ketika sikapnya sering menjengkelkan. Sepertinya kini Wanda merindukan Restu, mama tirinya itu.

Suatu hari Wanda memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada sang papa, Ia mencoba menghampiri papanya yang tengah sibuk mempersiapkan diri untuk kembali ke luar kota selama beberapa hari untuk tugas kantornya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Wanda teringat dengan sikapnya pada hari-hari terakhir menjelang kepergian Restu. Ia yakin, papanya pun tahu bahwa karena dirinyalah mama tirinya itu terpaksa mengalah sehingga ia pergi dari rumah itu.

Cukup lama Wanda berdiri mematung. Ia merasa malu dengan sikap-sikapnya selama ini. Namun Wanda mencoba untuk meneruskan langkahnya walaupun kebimbangan menggelayuti hatinya. Padahal jarak untuk sampai ke papanya yang tengah duduk dan sibuk memasukan berkas-berkas ke dalam kopernya, hanya tinggal tiga atau empat langkah lagi.

"Papa...! Wanda kangen sama mama Restu!" katanya setengah berteriak. Papanya langsung terperanjat, kemudian menoleh ke belakang, ke arah anaknya.

"Wanda kangen sama Restu," sambungnya dengan suara melemah. Papanya kemudian tersenyum lalu menghampiri Wanda dan memeluknya.

Bogor, 16 0ktober 2004

Information From

Tidak ada komentar: