Sabtu, 18 Oktober 2008

Humor Berkelas adalah Mengkritik

Oleh Wahjoe Sardono (DONO, Warkop DKI)
ALAMAK! Sekarang kok semakin jelas dan tegas dikotomi, lawak kelas atas dan lawak kelas bawah. Humor Konglomerat dan Humor untuk Si Polan yang dahinya berkerut terus, lantaran memikirkan rumah kontrakan. Ada apa ini?

Zaman Kwartet Jaya tampil, hingga Srimulat, nyaris tak ada dikotomi itu. Srimulat sebagai contoh. Saat mereka masuk Jakarta, dikelompokkan sebagai grup lawak tradisional. Mereka menampilkan lucuan yang sederhana, dan memang benar-benar membuat orang tergelak-gelak.

Mereka hanya disebut grup tradisional, bukan grup papan bawah dalam pengertian status sosial. Penontonnya pun saat itu dari mulai menteri, pengusaha besar (dulu belum populer konglomerat), cendekiawan, mahasiswa, wartawan hingga tukang becak dan pembantu rumah tangga. Tiket yang dijual juga hanya sekitar Rp 3.500. Ini tidak menjadikan risih bagi dua kubu yang berbeda antara pengusaha besar dan tukang becak, duduk bersama dalam gedung reyot Taman Ria Remaja Senayan. Semuanya terlena dalam tawa.

Namun sekarang! Entah siapa yang mulai, ada statemen bahwa lawak sekarang ini tidak lucu dan hanya dilucu-lucukan, muncul pada 90-an ini.

Pernyataan itu amatlah sederhana, namun mengandung sebuah tuntutan lebih, dikarenakan kebutuhan akan tertawa, tidak saja hanya terkekeh-kekeh, namun harus juga punya muatan tertentu, istilahnya sekarang ini, ikut berperan mendidik bangsa. Masyarakat kita semakin kritis, walau ini kedengarannya sebagai istilah politik, bagi dunia lucu melucu sudah menjadi istilah yang populer pula. Maka diperlukan pula humor yang kritis.

Atau mungkin perlu dicurigai, bahwa kini lawak sudah merupakan tempat pencaharian nafkah yang menjanjikan. Jika tahun sebelum 70-an diadakan lomba lawak, maka pesertanya bisa dihitung dengan jari. Tapi sejak tahun 80-an, peserta lomba lawak, selalu berjubel pesertanya. Banyak orang berminat jadi pelawak. Bagaimana tidak?. Sekarang humor di atas satu milyard berani dikorankan. Orang menjadi terkesima, hanya menjual lucuan sekitar 20 menit, itu pun tidak seluruhnya lucu, honornya betul-betul edan-edanan. Siapa yang tidak ngiler. Tiba-tiba pelawak melesat masuk dalam kelas ekonomi atas. Itulah barangkali yang dituntut masyarakat, honor tinggi, harus pula menampilkan lawakan yang tinggi pula.

Lawakan kritis
Berbagai pendapat nampaknya sekarang menyepakati, ada kecenderungan bahwa lawak yang kritis adalah lawak yang relevan dengan masalah sosial dan politik. Lawak harus punya pretensi untuk ikut menjadi gerakan moral, menjadi semacam kontrol dalam kehidupan bernegara.

Namun kenyataannya bahwa minat sebagian kecil penonton, yang mengartikan kritis adalah lebih menginginkan tekanan pada persoalan politik saja. Kritik-kritik para pelawak lewat lucuannya, menjadi punya nilai jika berhubungan dengan persoalan politik. Contohnya adalah salah satu Humor Warung Kopi "Sekarang ini ada konsep Manunggalnya ABRI dengan Rakyat. Maka berarti ABRI bukan rakyat, dan sebaliknya rakyat bukan ABRI, oleh karena mereka harus manunggal. Nah kalau kita membaca UUD 45, pasal 33 tentang: Semua kekayaan alam Indonesia dikuasai negara untuk kepentingan rakyat, menjadikan ABRI sebenarnya tidak kebagian kekayaan itu sama sekali, karena apa? ABRI bukan rakyat! Humor ini mendapat sambutan, namun jelas tekanannya, pada humor yang arahnya politik. Bukan pada masalah sosial.

Sebaliknya Srimulat, pernah dalam salah satu pertunjukannya menampilkan seorang pembantu (pria) yang disuruh menjadi suami pura-pura dari seorang wanita majikan yang kaya raya. Karena, sang wanita majikan ini ditaksir oleh seorang pria tua yang sudah punya istri, hidung belang. Benar juga, Sang lelaki tua, hidung belang itu, akhirnya mundur. Namun setelah itu sang pembantu yang sudah telanjur benar-benar jatuh cinta, menjadi merana, karena sang Wanita majikan hanya bilang" "Sorry ya! Kamu 'kan suami pura-pura, saya sudah punya kekasih lain, dan mana pantas saya menjadi istri seorang batur alias pelayan."

Sepotong cerita Srimulat ini, sebenarnya lebih mengungkapkan masalah sosial, betapa tak punya kekuatan apa-apa menjadi pembantu rumah tangga. Ia tak mempunyai perlindungan, ia juga hanya sekadar orang-orang yang boleh diapakan saja oleh orang yang mempunyai uang. Tapi ada yang menanggapi ini sebagai mengritik masalah sosial? Nampaknya tidak! Ya hanya geeer semata. Dan malah sering terdengar lucuannya hanya itu-itu melulu.

Dari dua potongan lawakan itu, orang lebih menilai yang punya daya kritis adalah lawakan pertama. Lawakan yang berbau politik. Jadi lawakan yang kritis adalah lawakan yang berbau politik. Itulah sebabnya pelawak sekarang harus mampu menjadi pengritik.

Boleh jadi ini menunjukkan bahwa semakin tertutupnya lembaga-lembaga atau perorangan untuk menyampaikan kontrolnya kepada pemegang kekuasaan, mengenai masalah politik. Kalau dulu gerakan moral atau kritik sosial menjadi milik kampus, barangkali mahasiswa sekarang kembali ke motto: Buku, Pesta dan Cinta. Maka pelawak mendapatkan tugas sebagai pengritik andal. Maka berbanggalah wahai pelawak, Anda telah menggantikan peran kaum intelektual.

Seringkali terdengar ungkapan, bahwa kritik bisa disampaikan lewat canda, agar yang dikritik tidak merasa dikritik. Pelawaklah kini yang tampil dan diserahi menyuarakan keinginan itu. Sebab, bisa dikatakan pelawak itu hanya orang-orang yang lugu, sehingga kalau menyampaikan sesuatu itu bisa dianggap hanya melucu, tidak serius! Dengan bahan yang sama nilainya, akan berbeda pengaruhnya jika diucapkan oleh Abdurrahman Wahid atau Wilmar Witular, dengan yang meluncur dari mulut Indro Warkop. Jika pelawak yang lugu dan lucu itu saja ditangkap, maka bisa dikatakan sudah anarchi betul negara ini.

Maka benar-benar mengkhawatirkan, jika pelawak didorong untuk mengritik, karena orang lain atau lembaga lain tak mampu dan tak mungkin lagi menyampaikan kritiknya.

Penanggap lawak
Boleh jadi, perkembangan ekonomi menentukan pula honor pelawak. Kembali bicara tahun, sekitar tahun 80-an, dunia lawak sedang mengalami masa cerah. Penanggap bukan saja perusahaan, tetapi juga panitia-panitia dadakan, atau mahasiswa yang melihat dunia showbiz sangat menguntungkan. Pulau-pulau yang jauh dari Jakarta masih mampu menyelenggarakan pertunjukan, di GOR ataupun di lapangan terbuka. Namun memasuki tahun 90-an, daya beli masyarakat tak lagi nanjak. Tak ada lagi panitia-panitia temporer yang berani mengadakan pertunjukan. Ambil contoh saja harga tiket pesawat terbang ke Ambon, yang harus dikeluarkan untuk artis lawak yang minimal anggotanya tiga orang, honor, akomodasi, belum lagi kalau ada artis penyanyi yang lain. Sementara itu tak mungkin menjual tiket di kota kecil seharga Rp 50.000 agar panitia mendapat keuntungan.

Padahal pertunjukan semacam ini akrab dengan masalah-masalah sosial. Penonton bisa bertepuk tangan atau tertawa terpingkal-pingkal, jika pelawak mengemukakan masalah yang menyangkut yang lebih serius yang berhubungan dengan politik maupun sosial.

Berbagai pengalaman menunjukkan, bahwa kini show artis di daerah hanya mampu diselenggarakan perusahaan-perusahaan besar. Demikian pula yang ada di kota-kota besar. Ambil contoh Warkop diminta show di sebuah perusahaan A yang menjadi salah satu anak perusahaan B yang super-besar. Sementara kita tahu ada keinginan melontarkan joke-joke yang berhubungan dengan kesewenangan, ketidakadilan, arogansi pemodal besar. Itu tak akan mendapat sambutan, baik oleh penonton yang karyawan, apalagi pimpinannya. Sebab sudah menjadi rahasia umum, perusahaan itu melakukan apa yang akan dikemukakan.

Akhirnya kompromi yang bijaksana membuat lucuan yang pokoknya geeer saja. Kalau tidak porno, ya sekadar memplesetkan kata, kalaupun toh harus bicara soal pimpinannya, maka bukan tingkah laku politiknya, ataupun tingkah laku bisnisnya yang menjadi bahan lucuan, tetapi sebatas kebiasaan-kebiasaan di kantor yang lucu saja. Untuk memasukkan unsur kritik, harus sangat hati-hati, jangan sampai menghilangkan muka yang punya hajat, sebab rasanya tidak etis, mengritik orang yang membayar.

Lawak di TV
Melawak di televisi, adalah melawak yang paling berat, karena harus melayani berbagai selera. Ia benar-benar harus bisa menghibur anak umur tujuh tahun hingga kakek-kakek. Ia harus mampu menghibur lulusan S-3 maupun yang tidak pernah mencium bau sekolahan. Ia harus menghibur orang yang senang kritik sosial, sampai orang yang senang dengan lucuan timpuk-timpukan alias slapstick.

Media massa telanjur mengangkat ke permukaan bahwa lawakan yang berkelas adalah lawakan yang berbau kritik (politik). Segmentasi menengah ke atas sudah menjadi segala-galanya. Menjadikan pelawak berusaha ke arah sana. Dengan keterbatasan pengetahuan politik, ia berusaha membuat kritik-kritikan, akhirnya hanya sebuah celetukan-celetukan kritik. Oleh hanya satu orang, sementara kawan mainnya tak benar-benar paham apa yang diucapkan kawan mainnya itu. Seolah menjadi target, celetukan kritik harus selalu hadir setiap kali nongol di televisi.

Baik, kalau memang disepakati bahwa kritik politik adalah indikasi kecerdasan, dan indikasi status sosial (padahal masalah hubungan antarmanusia lebih penting), maka untuk menghibur orang yang tidak paham dan tidak suka politik, dan orang yang tak cerdas, perlu kompromi, menjadi satukan unsur kritik dan unsur kepleset kulit pisang, menjadi lucuan yang bisa menghibur.

Membuat lucuan yang benar-benar lucu saja setengah mati. Seperti berulangkali dikemukakan, bahwa kondisi lawak di Indonesia saat ini: ia adalah pemikir, penulis, penampil, sekaligus pengurus keuangan setiap kali ia harus tampil. Bagaimana mau selalu prima? Ayo dong bantu dengan naskah, cerita, skenario lawakan, sebab dengan demikian Anda tidak hanya jadi penonton, tapi juga jadi pemilik. Pelawak adalah aset negara, yang perlu diselamatkan.

Information From

Tidak ada komentar: