Kamis, 11 Desember 2008

Beri Kesempatan Perempuan Memilih Hidup

Oleh Rosidi

Awal agustus 2006 lalu, kawan perempuan saya, panggil saja Kartini, larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena tanggal 16 Agustus tahun itu, ia harus menjalani pernikahan yang tidak diinginkannya. Ia harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Menikah, mempunyai suami atau istri, adalah impian semua orang. Karena dari sanalah, pasangan suami – istri bisa mempunyai keturunan dan membangun mahligai rumah tangga sebagaimana diperintahkan agama.
Islam mengajarkan, bahwa menikah tidaklah sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologis (seks). Tapi merupakan ibadah, karena dianjurkan oleh Allah Swt., dan rasul-Nya. Al-Qur’an surat Ar-Rum: 21 menyebutkan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. …."
Selain ayat di atas, Rasulullah Saw., dalam sebuah Haditsnya menganjurkan untuk menikah. Sebaliknya, baginda Nabi membenci umatnya yang tidak suka menikah. An-nikahu sunnati, fa man raghiba ‘an sunnati fa laitsa minni. "Menikah adalah sunnahku, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah), maka ia tidak (aku anggap) alam golongan ummatku".


Hikmah dan Tujuan
Menikah mempunyai hikmah dan tujuan yang sangat agung. Pertama, hikmah menikah adalah tersalurkannya hasrat seksual pada tempatnya yang sah dan diridloi agama (baca: Tuhan).
Sebagaimana hewan, manusia juga mempunyai hasrat seksual yang akan terus menggebu-gebu seiring dengan bertambahnya umur. Dengan menikah, manusia menjadi beda dengan hewan yang bisa seenaknya menyalurkan hasrat biologisnya kepada siapa saja. Menikah bisa menjadi salah satu penanda dan pembeda antara manusia -yang diberi akal oleh Tuhan- dengan Hewan.
Kedua, terhindar dari perbuatan zina. Orang yang belum menikah rentan terjerumus dalam perzinaan. Karena memang ia belum mempunyai tempat penyaluran hasrat seksual yang diridloi dan sah baik dalam pandangan agama (Tuhan), Negara maupun masyarakat.
Ketiga, terciptanya keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah. Keluarga yang bahagia dan dipenuhi dengan kasih sayang. Ini adalah inti dari kehidupan dalam berumah tangga. Sebuah harapan bagi siapa saja yang sudah berkeluarga, yaitu terciptanya sebuah rumah tangga bahagia, sehingga bisa mendatangkan surga di dunia (baiti jannati) dan surga dalam kehidupan kelak.
Pendek kata, dengan menikah, orang menjadi lebih tenang dan terpelihara hati dan matanya dari berbuat dosa. Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menyebutkan, bahwa dengan menikah badan menjadi tenang, jiwa juga damai, pandangan terpelihara dan kasih sayang bisa diwadahi secara benar. Oleh karena itu, sejatinya, orang yang sudah menikah menjadi orang yang tenang baik dalam jasmani, pandangan maupun jiwanya.

Lemah Posisinya
Untuk mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah, maka pernikahan harus dilambari dengan adanya cinta dan kasih sayang dari kedua pihak, yaitu dari pihak laki – laki dan perempuan. Sangat kecil kemungkinan keluarga bisa bahagia tanpa dilambari cinta kasih itu.
Permasalahan yang ada hingga saat ini, perempuan, selalu saja dalam posisi yang lemah dan kalah dalam memilih pasangan hidupnya. Mereka, perempuan, di alam modern seperti saat sekarang ini pun, masih banyak yang tidak diberi kesempatan menentukan jodohnya sebagai pendamping hidup.
Dalam kasus kawan saya, Kartini, ia harus rela menuruti ayahnya agar menikah dengan orang yang tidak dicintai dan disayanginya sama sekali. Ia tidak diberi kesempatan untuk memilih pasangan hidupnya. Dalih ayahnya, bahwa orang tua berhak memilihkan jodoh bagi anak perempuannya. Sehingga ayahnya tidak peduli dan tetap memaksanya agar menikah dengan lelaki pilihannya.
Kasus seperti ini, bukanlah kasus langka dalam era yang sudah sangat modern ini. Masih banyak perempuan lain yang harus ditindas perasaannya karena tidak bisa memilih untuk melangsungkan pernikahan dan hidup dengan orang yang dicintainya.
Pandangan seperti ini, harus segera dirubah dan dihilangkan. Kalau Tuhan saja tidak pernah memaksakan kehendak kepada ummatnya bahkan dalam memilih agama sekali pun, “Laa ikraaha fi al diin”, haruskah manusia menjadi angkuh dan sombong dengan memaksakan kehendak kepada orang lain, termasuk dala urusan perjodohan?
Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Sehingga perempuan bisa dipaksa-paksa menikah dengan kehendak orang tua tanpa persetujuan anaknya. Tanpa memberikan kesempatan kepada anaknya untuk memilih pasangan hidup yang dikehendakinya.
Pemaksaan menikahkan seseorang (anak), bukanlah sesuatu yang bijak. Karena itu akan berakibat buruk terhadap si anak yang merasa tertekan bahkan mati rasa. Ia merasa tidak memiliki hidupnya sendiri dan selalu diatur.
Pengalaman yang dialami Kartini kawan saya, misalnya. Ia terlihat murung, sering menangis, dan memendam kesedihan karena tertekan batinnya. Kesedihan selalu saja menyelimuti ketika ia berkeluh kesah via handphone, dan selalu menangis untuk menumpahkan perasaannya.
Akibat buruk lain, adalah jika perempuan tidak kuat menghadapi perjodohan yang dipaksakan, bisa saja ia nekat kabur dari rumah, atau bahkan bunuh diri. Kasus melarikan diri perempuan sehingga akhirnya lebih memilih menjadi pekerja seks demi kepuasannya karena tidak diberi kesempatan memilih jodohnya, dan juga kasus bunuh diri akibat persoalan tersebut, bukan hal baru dan langka.
Untuk itu, memberi kesempatan kepada anak, terutama anak perempuan, untuk memilih pasangan hidupnya, adalah hal terbaik dan arif kiranya. Karena dari sana lah, dengan cinta kasih mereka, mahligai rumah tangga yang bahagia akan terwujud.
Sebaliknya, nonsens tujuan berkeluarga atau menikah seperti menenangkan dan menentramkan jiwa (litaskunu ilaiha), menimbulkan rasa mawaddah, cinta kasih dan kebahagiaan akan terwujud, jika sejak awal pernikahan tidak dilambari dengan cinta kasih antara keduanya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: