Kamis, 11 Desember 2008

Awas, Dukun dan Tukang Ramal Penciduk Agama dan Harta!

Kejahilan terhadap syariat terkadang menjadikan seseorang bersifat gegabah, serampangan, dan tergesa-gesa dalam berbuat. Ia dengan mudah melakukan sesuatu padahal akan memudharatkan dirinya. Betapa sering, karena kejahilan, seseorang terjatuh ke dalam perbuatan kufur dan kesyirikan, bid’ah, pengingkaran terhadap sesuatu yang sudah jelas ada nashnya dalam syariat dan terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan.

Kita saksikan sekeliling kita. Ada orang yang hanya bermodal bisa memimpin dzikir dan membaca doa, ia posisikan dirinya sebagai orang yang terpandang walaupun buta terhadap ilmu agama. Ada pula orang yang gemar berceloteh di panggung-panggung dan di mimbar-mimbar, merasa dirinya seakan da’i yang tidak tertandingi, padahal dia tidak memiliki ilmu agama kecuali hanya sedikit saja.

Allah k telah banyak menjelaskan di dalam ayat-Nya tentang bahaya kejahilan, di antaranya:
1. Allah k menceritakan tentang kaum Nabi Musa : "Mereka (Bani Israil) mengatakan: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 136)


Al-Imam Asy-Syaukani t mengatakan: “Allah mensifati Bani Israil dengan kejahilan karena mereka mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah, yang mestinya hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk meminta (sesuatu yang hanya mampu dilakukan Allah) kepada selain Allah. Akan tetapi mereka terkenal sangat keras penentangannya, tinggi kejahilannya dan orang-orang yang tidak memiliki pendirian.” (Fathul Qadir, hal. 586)

2. Allah berfirman: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk memenuhi nafsu kalian bukan (mendatangi) wanita, sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatan kalian).” (An-Naml: 55) Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Bagaimana kalian sampai melakukan demikian terhadap syahwat kalian. Kalian melampiaskannya kepada kaum pria melalui dubur mereka, padahal itu tempat keluar kotoran. Dan kalian meninggalkan apa yang Allah ciptakan buat kalian dari wanita-wanita, yaitu tempat-tempat yang baik di mana setiap manusia telah difitrahi untuk condong kepadanya. Demikianlah bila urusan telah terbalik, kalian menganggap yang jelek itu baik dan yang baik itu jelek, akan tetapi kalian tidak mengetahui artinya. Kalian melanggar batasan-batasan Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 556)

3. Allah k berfirman: “Yusuf berkata: ‘Apakah kalian mengetahui (kejelekan) apa yang kalian telah lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kalian tidak mengetahui akibat perbuatan kalian itu.” (Yusuf: 89) Ayat ini menjelaskan satu bentuk alasan yang mengakibatkan saudara-saudara Nabi Yusuf terjatuh dalam perbuatan yang tidak sepantasnya terjadi, atau ayat ini merupakan sebuah cercaan terhadap saudara-saudara Nabi Yusuf karena mereka melakukan perbuatan-perbuatan orang jahil.

4. Allah k berfirman: “Katakanlah: Apakah kalian menyuruh aku untuk menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Az-Zumar: 64)

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengatakan kepada oang-orang jahil (tentang perkataan mereka yang sesat, red.). Perintah orang-orang kafir kepada Rasulullah n untuk menyembah selain Allah SWT itu didasari oleh kejahilan. Jika mereka berilmu tentang Allah SWT yang Maha Sempurna dari semua sisi, niscaya mereka tidak akan memerintahkan Rasulullah n melakukan hal itu.

Masih banyak lagi ayat semakna yang menjelaskan bahwa kejahilan merupakan sumber malapetaka. Al-Imam Ibnul Qayyim t mengatakan: “Rukun kekufuran ada empat yaitu sombong, hasad, marah, dan syahwat. Sifat sombong akan mencegah seseorang untuk tunduk, hasad menghalangi untuk menerima nasihat, marah akan menghalangi untuk berbuat adil, dan syahwat akan menghalangi untuk konsentrasi dalam beribadah.

Apabila hancur pondasi kesombongan akan mudah baginya untuk tunduk; apabila pondasi hasad runtuh maka akan mudah baginya menerima nasihat dan melaksanakannya. Bila pondasi marah runtuh maka akan mudah baginya untuk berbuat adil dan tawadhu’; dan bila pondasi syahwat itu hancur maka akan mudah baginya untuk bersabar, menahan diri dari maksiat serta istiqamah dalam beribadah. Memindahkan sebuah gunung dari tempatnya lebih ringan, gampang dan mudah dibanding menghilangkan keempat perkara ini bagi orang yang telah terkena. Terlebih bila semua telah menjadi perilaku dan tabiat yang mendarah daging. Bersamaan dengan itu, tidak akan lurus amalan apapun yang dibangun di atasnya dan amalan-amalan tersebut tidak akan dapat membersihkan dirinya. Setiap kali dia membangun sebuah amalan, maka akan diruntuhkan oleh keempat perkara tersebut, dan segala macam penyakit bermuara darinya. Bila keempat perkara tersebut menancap di dalam hati maka akan menampilkan kebatilan sebagai kebenaran, kebenaran sebagai kebatilan, ma’ruf dalam bentuk mungkar dan mungkar dalam bentuk ma’ruf, dan dunia akan mendekatinya sedangkan akhirat akan menjauh darinya. Bila kamu meneliti kekufuran umat terdahulu (kamu akan menjumpai, pen.) semuanya bermuara dari keempat perkara tersebut. Dan besar kecilnya sebuah adzab tergantung dari besar dan kecilnya keempat sifat tersebut. Barangsiapa membiarkan keempat rukun kekufuran tersebut pada dirinya, maka dia telah membuka pintu kejahatan pada dirinya. Dan barangsiapa menutupnya maka akan tertutup pintu-pintu kejahatan pada dirinya. Keempat
perkara di atas akan menyebabkan seseorang terhalang untuk tunduk, ikhlas, bertaubat, menerima kebenaran, menerima nasihat dari saudaranya, dan tawadhu’ di hadapan Allah k dan di hadapan makhluk. Keempat sifat tersebut disebabkan kejahilan tentang Rabbnya dan kejahilan tentang dirinya. Jika dia mengetahui Allah k dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna dan Agung, serta dia mengetahui tentang dirinya yang penuh kelemahan dan serba kekurangan, niscaya dia tidak akan menyombongkan diri, tidak akan marah, dan tidak akan iri hati kepada siapapun yang telah mendapatkan anugerah dari Allah k.” (Al-Fawaid, hal. 174-175)

Al-Imam Mujahid t dan selain beliau mengatakan: “Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah k baik sengaja atau tidak, dia adalah orang jahil sampai dia bertaubat.”

Al-Imam Qatadah t meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, ia mengatakan tentang para shahabat Rasulullah n bahwa mereka berkata: “Setiap dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, asasnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)

Abdur Razzaq t berkata: Ma’mar telah menyampaikan kepada kami dari Qatadah bahwa ia berkata: “ Para shahabat telah ijma’ (bersepakat) bahwa segala kemaksiatan dasarnya adalah kejahilan, baik disengaja ataupun tidak.”

Ibnu Juraij t berkata: Abdullah bin Katsir menyampaikan kepadaku dari Mujahid bahwa ia berkata: “Setiap pelaku kemaksiatan kepada Allah k adalah dalam keadaan jahil ketika melakukannya.”

Ibnu Juraij t juga berkata: ‘Atha bin Abi Rabbah telah menyampaikan kepadaku ucapan yang sejenis. Abu Shalih t berkata (riwayat) dari Ibnu ‘Abbas c: “Kejahilan seseorang akan menyebabkan dia melakukan kejahatan.” (Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya, 1/572)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata di dalam Tafsir beliau bahwa kejahilan yang dimaksud adalah: “Kejahilan tentang akibat perbuatan itu, kejahilan tentang sebuah amalan yang akan mengundang murka Allah dan adzab-Nya, kejahilan dirinya tentang pantauan Allah dan penglihatan-Nya, kejahilan tentang amalan yang akan merugikan iman atau menghilangkannya. Berdasarkan tinjauan ini, maka setiap orang yang bermaksiat kepada Allah k, dia adalah orang jahil walaupun dia berilmu tentang keharaman.”

Berhati-hati dari Orang Jahil

Allah k dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita agar berhati-hati dari orang jahil dan sepak terjangnya, karena bahaya berteman dengan mereka sangat besar. Dia akan menjerumuskan dirimu ke lubang kemaksiatan walaupun kamu mengetahui hukumnya. Orang jahil lebih dekat kepada Iblis dan tentara-tentaranya daripada kepada Allah k dan tentara-tentara-Nya, dan mereka sendiri adalah tentara Iblis. Bila kamu mendekati mereka, pasukan Iblis akan bergerak untuk menciduk dirimu, agama dan hartamu.

Dalam kehidupan kaum muslimin sekarang ini sangat terlihat berbagai praktek kehidupan yang didasari oleh kejahilan. Bahkan mayoritas praktek kehidupan yang merupakan perilaku jahiliyah menjadi kebanggaan. Prinsip mereka adalah apa yang di jelaskan oleh Allah k di dalam firman-Nya: “Mereka berkata: ‘(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami telah dapati dari perbuatan nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 170)

Pertanyaan ini telah dijawab oleh kenyataan yang ada bahwa walaupun nenek moyang mereka dalam keadaan tidak mengetahui, tidak mendapatkan petunjuk dan berada dalam kesesatan, toh nenek moyang itu tetap diikuti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Demikianlah bahaya kebodohan, yaitu akan membutakan sehingga tidak bisa melihat cahaya Allah k yang telah menerangi alam ini, malamnya bagaikan siang. Prinsip “mati urip” membela ajaran nenek moyang dijadikan sebagai senjata untuk menolak kebenaran, berpaling darinya dan membencinya. Dengan prinsip di atas mereka berani membela kebatilan dan melindungi pelakunya.

1. Allah k telah memperingatkan di dalam firman-Nya:
“Maka janganlah kalian termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35) Ayat ini menjelaskan agar kita jangan sampai menjadi orang jahil yang tidak mengetahui hakikat permasalahan dan meletakkan permasalahan tidak pada tempatnya.

2. Allah k membimbing agar Nabi Musa p berlindung dari sifat kejahilan:
“Musa berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang orang yang bodoh.’” (Al-Baqarah: 67)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Karena sesungguhnya orang jahil itu adalah orang yang berbicara dengan sebuah ucapan yang tidak berfaidah dan orang-orang yang suka menghina orang lain.” (Tafsir As-Sa’di hal. 37)

Beliau juga mensifati orang-orang jahil dan tolol dengan: “Kejahilan tentang maslahat dirinya dan dia melakukan segala apa yang memudharatkannya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 26)

3. Allah k menceritakan tentang Nabi Ibrahim p agar menyingkir dan meninggalkan orang-orang jahiliyah dalam firman-Nya: “Dan aku akan menyingkir dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah dan aku hanya berdoa kepada Rabbku semoga aku dengan itu tidak termasuk orang-orang yang celaka.” (Maryam: 48)

4. Allah k bercerita tentang sikap Nabi Musa p terhadap kaumnya dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya aku berlindung kepada Rabbku dan Rabb kalian dari keinginan kalian merajamku, dan jika kamu tidak beriman kepadaku maka biarkanlah aku menyingkir dari kalian (memimpin bani Israil).” (Ad-Dukhan: 20-21)

5. Allah k bercerita tentang Ashabul Kahfi dalam firman-Nya: “Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna buat kalian dalam urusan kalian.” (Al-Kahfi: 16)

6. Rasulullah n telah memperingatkan di dalam sabdanya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari setiap hamba namun Allah mencabutnya dengan mematikan orang-orang alim. Sehingga di saat Allah tidak menyisakan seorangpun dari mereka, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin mereka. Mereka ditanya merekapun berfatwa tanpa dasar ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

7. Al-Imam Malik t mengatakan: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang (1) Orang yang memproklamirkan kejahilannya (2) Orang yang selalu mengikuti hawa nafsu (3) Orang yang terkenal pendusta dalam ucapannya walaupun dia tidak berdusta atas nama Rasulullah n (4) Orang memiliki keutamaan dan kebaikan namun dia tidak mengetahui apa yang sedang diucapkannya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi, 2/48) Dalil-dalil di atas menjelaskan kepada kita sikap yang selamat dan menyelamatkan yaitu menyingkir dari orang-orang jahil yang tidak mau menerima kebenaran. Dan termasuk dari sederetan orang-orang jahil adalah para dukun dan tukang ramal.

Dukun adalah Orang Jahil

Dukun adalah orang yang menyatakan kepada manusia (bahwa dia mengetaui) perkara-perkara ghaib yang belum terjadi dan perkara yang ada di dalam hati seseorang.

Ibnul Atsir t mengatakan: “Dukun adalah seseorang yang selalu memberikan berita tentang perkara-perkara yang belum terjadi pada waktu mendatang dan mengaku mengetahui segala bentuk rahasia. Memang dulu di negeri Arab banyak terdapat dukun seperti syiqq, sathih dan selainnya. Di antara mereka (orang Arab) ada yang menyangka bahwa dukun itu adalah para pemilik jin yang akan menyampaikan berita-berita kepada mereka. Di antara mereka ada pula yang menyangka bahwa dukun adalah orang yang mengetahui perkara-perkara yang akan terjadi dengan melihat kepada tanda-tandanya. Tanda-tanda itulah yang akan dipakai untuk menghukumi kejadian-kejadian seperti melalui pembicaraan orang yang diajak bicara atau perbuatannya atau keadaannya, dan ini mereka khususkan istilahnya dengan tukang ramal, Seperti seseorang mengetahui sesuatu yang dicuri dan tempat barang yang hilang dan sebagainya.” (An-Nihayah fii Gharibil Hadits, 4/214)

Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengatakan: “Dukun adalah orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib atau mengetahui segala bentuk rahasia batin. Mayoritas dukun adalah orang-orang yang mempelajari bintang-bintang untuk mengetahui kejadian-kejadian (yang akan terjadi) atau mereka mempergunakan bantuan jin-jin untuk mencuri berita-berita. Dan yang semisal mereka adalah orang-orang yang mempergunakan garis di tanah, melihat di cangkir, atau di telapak tangan atau melihat buku untuk mengetahui perkara-perkara ghaib tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/393-394) Mayoritas yang terjadi di tengah umat ini adalah pemberitaan yang dilakukan oleh jin-jin terhadap para wali mereka dari kalangan manusia yaitu berita-berita tentang perkara ghaib yang akan terjadi di muka bumi. Orang-orang jahil menyangka bahwa itu adalah sebuah kasyaf (ilmu membuka tabir) dan sebuah karamah. Dengan itu banyak orang tertipu dan menyangka bahwa yang memberitahukan perkara tadi adalah seorang wali Allah k padahal dia adalah wali setan.

Hukum Perdukunan

Dari penjelasan di atas maka tidak ada keraguan lagi tentang hukum perdukunan itu adalah haram. Ibnu Abil ‘Izzi t mengatakan: “Bukan satu orang dari ulama telah menukilkan ijma’ tentang keharamannya (keharaman dukun) seperti Al-Imam Al-Baghawi, Al-Qadhi ‘Iyadh, dan selain mereka.” (Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 341)

Perdukunan adalah sebuah kesyirikan kepada Allah k dan pelakunya adalah kafir, keluar dari agama, karena mereka meyakini tahu perkara-perkara ghaib, sedangkan permasalahan ghaib merupakan kekhususan ilmu Allah k. Tindakan menyekutukan Allah k dalam salah satu sifat-Nya termasuk dari kesyirikan, disamping juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah k yang berbunyi: “Katakan bahwa tidak ada seorangpun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara ghaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)

Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kufur kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad n.”

Hadits ini di keluarkan oleh Al-Hakim (1/8) dan beliau menshahihkannya, disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dan dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam Al-Irwa` no. 2006, Shahih Sunan Abu Dawud no. 3304, Shahih Sunan Ibni Majah no. 522, Al-Misykat no. 551 dan di dalam kitab Adab Az-Zafaf hal. 105-106. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 3904, Ahmad (2/408, 429, 476), Ibnu Majah no. 639, Al-Baihaqi (7/198), Ibnu Jarud no. 107, Ad-Darimi no. 1141 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (15/429).

Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi t mengatakan: “Kalau demikian keadaan orang yang mendatanginya lalu bagaimana tentang orang yang ditanya/didatangi (yaitu dukun)?”

--
''Tidak semua yang kita anggap baik bagus untuk kita
tetapi yang kita anggap jelek malah bagus untuk kita''

Tidak ada komentar: