Senin, 22 Desember 2008

Perempuan Yang Menjadi Ibuku

Akhir pekan minggu lalu aku mengunjungi ibuku. Seperti biasa ia tengah berbaring sambil membaca Libelle.. Karena ia mengeluh kerap merasa pegal-pegal Aku menawarkannya untuk memijat yang disambut dengan sukacita.
Pendengarannya sejak lima tahun terakhir sudah berkurang Ada juga beberapa penyakit yang sudah mulai menggerogotinya seperti vertigo tapi dengan pengawasan yang ketat dalam soal makanan dan minumannya, perempuan ini bisa di bilang sehat-sehat. . Tahun ini, usianya akan mencapai 78 tahun di bulan September. Ia bisa nampak bertambah tua sepuluh tahun atau bahkan jatuh sakit jika memikirkan hal-hal tertentu menyangkut persoalan anak-anak atau cucunya.
Terlahir di Menado 24 September 1929, ibuku di beri nama Olga Magdalena Parera, sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan mantan Walikota Menado Jurian Parera dan Adelaida Coloway. Menikah dengan ayahku, Alm. Bastiaan Koraag. Di karuniakan sebelas orang anak perempuan.
Masa kecil hingga remaja di lalui ibuku di kota kelahirannya Menado yang mendapat julukan sebagai propinsi ke dua belas Nederland , Ibu selalu ikut meramaikan pesta yang berkaitan dengan Negara Belanda. Misalnya ulang tahun Ratu Juliana , ia ikut berpawai keliling kota dengan gadis-gadis seusianya. Ibu menempuh pendidikan hingga tamat Kweejk School , setara Sekolah Pendidikan Guru.
Aku mulai memijat dari kakinya. Entah mengapa, ketika tangan ini menyentuh Ibu keharuan menyergapku. Semakin ku sentuh betis dan pahanya, nyaris aku tak dapat menahan tangis. Tubuhnya sudah sangat lembek. Rasanya tak percaya, ini tubuh dari perempuan yang sudah melahirkanku. Kulitnya sudah sangat lentur. Aku bersyukur, tubuh ini terasa hangat dalam tanganku, menandakan masih ada nafas kehidupan dalam tubuhnya.
Ibu adalah perempuan ulet, kuat dan tegar. Melalui kehidupan yang tidak mudah di masa perang, mengharuskannya sabar dan kuat hidup bersama empat orang anak karena ayah harus bergerilya. Sedikit kebahagiaan mewarnai kehidupan ibu kala perang berkecamuk, justru saat ayah di penjara. Memang perasaannya tersiksa melihat ayah di balik jeruji, sosok lelaki gagah yang menjadi ayah dari anak-anaknya, terkurung dalam sekotak ruangan. Padahal biasanya Ibu melepas sang suami dalam balutan seragam hijau tentara yang gagah dan menyandang senjata.
Kebahagiaannya di rasakan karena dengan di penjara, berarti ayah selamat dan Ibu tak cemas memikirkan ayah di antara desingan peluru di medan perang. Selain itu Ibu bisa dengan mudah mempertemukan keempat anaknya dengan ayah. Namun nuraninya menjerit karena ibu tahu, ayah tak bahagia. Kala ayah di bebaskan, dengan perasaan susah Ibu memaksakan untuk gembira karena Ibu tahu ayah bahagia kembali ke medan perang. Ibu tahu bagi ayah dan berjuta pejuang lainnya, kemerdekaan bangsa adalah cita-cita mutlak yang tak dapat dibelokkan.
Masa perang kemerdekaan di lalui Ibu di kota Menado dan Makasar. Masa perang meninggalkan trauma dalam diri ibu hingga saat ini. Ibu tak bisa mendengar suara keras seperti petasan karena itu membawanya pada kenangan perang. Kenangan saat-saat harus berlari ke lobang-lobang perlindungan.
Saat petasan belum di larang, menjelang bulan Ramadhan adalah masa penyiksaan setiap tahun. Ibu yang biasa kami dan cucu-cucunya sapa dengan Oma, akan sembunyi di bawah tempat tidur atau di belakang rumah yang tersembunyi, seperti di belakang dapur.
Sesudah melahirkan anak keempat, ibu memutuskan berhenti mengajar. Terakhir ibu mengajar di SMP Kristen I Cirebon th 1961. keputusan menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya merupakan pengahargaan pada suami dan anak-anaknya. Kelak hal ini menjadi pesa yang disampaikan pada anak-anaknya. Berkarir di luar rumah atau tidak sepenuhnya di putuskan dalam kesadaran dan penuh tanggung jawab.
Karenanya sebagian dari kami ada yang berkarir dan ada yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Setiap pagi, ibu menyiapkan sarapan, begitu pula untuk makan siang dan makan malam. Bahkan makanan ringan di waktu sore. Padahal di waktu remaja, memasak adalah pekerjaan yang Ibu hindar. Menurut Almarhumah kakak ibu, Ibu lebih suka membaca dna mengurung diri di kamar kerja ayahnya, opa kami yang waktu itu masih menjadi walikota Menado. Kebiasaan membacanya terbawa hingga sekarang.
Ketika memijatnya, kaki ibu terasa kecil ditanganku, padahal ini adalah kaki yang membawanya berdiri tegak mengantarkan sepuluh dari sebelas anaknya ke gerbang pernikahan. Kaki kecil yang berdiri dengan bangga & bahagia saat melihat 8 dari 11 anaknya menyelesaikan Perguruan Tinggi. Ibu adalah wanita yang meyakini pendidikan adalah hal penting yang harus di dapat semua anak-anaknya. Karena itu ia memberikan kesempatan yang sama pada semua anaknya. Kalau pada akhirnya ada yang memilih berbeda, itu pilihan sang anak.
Ibu adalah perempuan yang tak pernah diam berpangku tangan. Semua baju kotor di cuci sendiri tanpa bantuan mesin cuci. Ibu di bantu anak-anaknya secara bergantian. Biasanya yang membantu mencuci adalah siapa yang sekolahnya masuk siang. Tak lama sesudahnya, anak-anak yang sudah bekerja membelikan sebuah mesin cuci. Sedangkan urusan kebersihan rumah, ibu memberikan tanggung jawab pada anak-anaknya. Mulai dari, setrika, menyapu, mengepel isi rumah dan teras, juga melap meja atau kaca-kaca jendela.
Sejak kelas tiga SD, aku mendapat tugas, menyapu halaman dan mengepel teras. Ketika aku masuk kelas satu SMP, tugasku bertambah dengan membantu ibu mencuci baju. Untung cuma setahun karena kemudian kakak-kakaku membelikan ibu sebuah mesin cuci. Namun ibu tetap mencuci semua pakaian putih dengan tangannya.
Satu hari di tahun 1980, kakakku nomor empat yang juga berprofesi guru, mendapat informasi sebuah sekolah membutuhkan kepala sekolah SMP dengan kriteria minimal 12 tahun mengajar. Karena belum punya pengalaman selama itu, kakakku, menawarkan pada ibu, sayang walau ibu sudah mempunyai pengalaman mengajar 12 tahun, kemampuannya diragukan karena sudah terlalu lama tak mengajar.
Di samping itu usai ibu sudah memasuki kepala 5, tahapan usia yang bisa di bilang tak muda lagi. Tapi Yayasan tersebut memberi kesempatan pada ibu untuk mengajar matematika dan bahasa Inggris karena dua mata pelajaran itu adalah bidangnya.
Pada masa ini, ibu seakan menemukan sebagian kehidupannya yang sempat terlupakan. Dengan dukungan ayah dan kami, anak-anaknya ia kembali aktif mengajar di Yayasan Triguna Jakarta . Hanya sesaat saja, ibu langsung menjadi guru kesayangan murid-muridnya. Bahkan kami, anak-anaknya harus bersaing melawan murid-murid untuk mendapat perhatiannya
Ibu adalah guru jaman dulu yang masuk ke jaman modern. Ibu tidak bisa menerima jika ada murid-murid yang belum menguasai mata pelajarannya. Maka setiap hari, mulai pukul 15.00 sampai pukul 17.00 ibu memberi pelajar tambahan secara cuma-cuma. Dan model pengajarannya juga agak antik. Di rumah kami tidak memilik banyak kursi dan meja, dan ibu tidak memaksakan keadaan. Apa yang ada itu yang di gunakan. Jadi kalau ada sebagian yang tak kebagian meja tamu sebagai meja belajar maka mereka dibiarkan belajar sambil tengkurep di lantai.
Saat menunggui murid-murid itu belajar, biasanya ibu berbaring di kursi panjang sambil menikmati bacaan favoritenya yaitu majalah-majalah berbahasa Belanda seperti Libelle. Serupa itu pula ibu mengajar kami, anak-anak kandunghnya. Tak harus duduk di depan meja. Di biarkan anak-anak mengambil posisi seenak-enaknya, yang penting apa yang diajar bisa di cerna.
Tak sedikit murid-muridnya yang memilih merayakan ulang tahun di rumah kami karena cintanya pada ibu. Sebesar cinta ibu pada profesinya sebagai guru dan anak-anak didiknya. Ibu tidak membawa pulang semua hasil mengajar karena sebagian di gunakan untuk membayar uang sekolah murid-muridnya yang tak mampu. Bahkan ibu sempat meminta kami, anak-anaknya menjemput seorang murid yang beberapa hari tak sekolah lantaran belum bayar uang ujian sekolah dan biaya Ebtanas. Menjemput dan mengantarkan ke sekolah serta memberi kabar kalau uang sekolah dan uang ebtanas si murid sudah lunas, dan si murid harus kembali sekolah untuk mempersiapkan diri mengikuti ebtanas.
Aku memijat sambil terus memperhatikan ibu. Kaki Ibu yang dulu sempat indah dalam balutan sepatu pantovel ketika menjadi guru, kini sudah kering dan keriput. Di sana-sana sini banyak bintik-bintik hitam, menurut adikku yang dokter adalah sel-sel kulit yang pigmennya sudah mati.
Padahal dulu Ibu terus menambah pengetahuan seputar bidang ajarnya dengan mengikuti kursus via pos dari sebuah perguruan tinggi di Bandung . Kelulusan Ibu menjadi satu peristiwa yang mengharukan. Saat itu 31 Des 1986, ayah sedang sakit parah dan terbaring di RS. Ibu menyampaikan ke lulusannya pada ayah yang langsung mencium dan memeluknya sebagai ucapan selamat. Dan itulah pelukan serta ciuman terakhir dari belahan jiwanya, sebelum beberapa jam kemudian, ayah koma hingga meninggal 10 Januari 1987.
Sepeninggal ayah, Ibu harus tegar dan tetap mengajar. Walau ibu sangat kehilangan sosok pendamping yang sangat mendukung semua aktivitasnya. Saat di tinggal ayah, ibu masih mengasuh 5 anak, mulai aku, anak ke-7 yang masih kuliah, anak ke-8 masih SMA, anak ke- 9,10 dan 11 masih SMP.
Ibu menjadi ekstra protektif. Tapi dukungan anak-anaknya yang sudah besar, turut memperhatikan dan menanggung biaya pendidikan adik-adiknya, membuat Ibu lebih ringan melewati kehidupan.
Hingga tepat 10 tahun Ibu mengajar, Ibu atas persetujuan anak-anak menjual rumah peninggalan ayah untuk membiayai kuliah anak ke 9 di fakultas kedokteran. Ibu pindah ke pinggiran kota di Perbatasan Jakarta dan Tangerang yaitu sekitar Kreo. Waktu itu usia Ibu sudah 60 tahun, jarak rumah yang baru cukup jauh menuju ke tempatnya mengajar.
Walau anak-anak tak melarang Ibu untuk tetap mengajar tapi Ibu harus mengukur kemampuan sendiri. Tanpa ayah yang setia mengantar dan menjemput, Ibu tak bisa berharap dari anak-anak atau cucunya karena Ibu sadar, kami mempunya kesibukan masing-masing. Akhirnya dengan kesadaran sendiri Ibu mengundurkan diri.
Ketika tanganku menyentuh seluruh tubuh ibu saat memijat, aku harus berulang-ulang menelan ludah menahan air mata. Tubuh mungil, keriput dan lembek yang terbaring ini adalah perempuan yang sudah melahirkan aku dan sepuluh saudaraku. Dari payudara yang sudah lembek inilah ami disusui. Kami tak mengenal susu formula, bahkan dari ayahku, kami tahu, selama kehamilan ibuku sangat lemah tapi semua bisa ia lewati.
Malu aku jadinya, bila mengingat dua kehamilanku. Saat aku hamil, aku merasa penyiksaan yang luar biasa karena selain mual, muntah, tak bisa makan, aku merasa sakit hampir di semua bagian tubuh, Dan itu aku rasakan sampai menjelang melahirkan. Bila rasa sakit itu datang, aku hanya bisa merengek pada ibu dan biasanya ibu akan mengusap-usap punggung dan bagian-bagian yang aku keluhkan. Padahal aku cuma punya dua, sedangkan ibuku sepuluh kali hamil di tutup kembar di lahiran terakhir
Sesudah tak mengajar, Ibu aktif di paduan suara gereja. Selain itu tetap menjadi sumber infromasi matematika, bahasa Inggris buat cucu-cucunya. Setiap tahun dimasa ebtanas, Ibu tetap mendapat panggilan dari departemen P&K untuk menjadi pengawas dan pemeriksa hasil ujian. Namun sayang akhirnya kegiatan inipun lak lagi bisa dilakukan manakala th 1993, Ibu pindah rumah ke Tangerang. Pilihan lokasi ini dikarenakan dua anaknya sudah lebih dulu menempati perumahan ini, hingga Ibu kami sarankan juga pindah agar mudah berkomunikasi dan tetap ada yang mengawasi..
Badan ibu kecil, dari dulu ibu tidak pernah gemuk. Makanya kala kami sedang berkumpul dan bercanda, salah satu dari kami kadang berkomentar ”Dari perempuan sekecil ini bisa keluar 11 anak perempuan yang memberinya 23 cucu dan 3 cicit, Tuhan sungguh luar biasa!”
Ibu sudah sepuh. Di mana hari-harinya diisi menjadi hari-hari yang menyenangkan bersama anak-anaknya. Ibu berkeliling kota seperti Menado, Bali dan Yogja, tiga kota yang sering di kunjungi selain Bandung . Bahkan sampai ke luar negeri mulai dari Eropa hingga Amerika. Sayang Ibu tak punya asuransi sehingga keinginannya untuk ke Australia tak bisa kami penuhi. Karena untuk orang seusia Ibu jika tak punya asuransi tak bisa lagi ke L: N. Mengingat usia Ibu yang sudah sepuh tak ada lagi provider asuransi yang mau menerima.
Kini Ibu mengisi hari-harinya dengan menjadi pelanggan perpusatakaan Kedutaan Belanda Erasmus Huiz, aktif di kelompok Lanjut Usia gereja dan paduan suara gereja. Natal 2005 Ibu masih didaulat membaca puisi dan Natal 2006 Ibu masih mendapat peran dalam drama Natal . Di rumah, Ibu masih memasak untuk anak bungsu dan seorang cucu yang tinggal bersamanya. Di waktu senggang selain membaca Ibu masih suka menyulam. Semua cucunya yang kini berjumlah 23, sudah memiliki nama hasil sulaman Omanya. Itulah profil perempuan yang di utus Tuhan menjadi ibuku.
Ada seribu satu rasa yang sulit kugambarkan lewat kata-kata kala tangan ini menyusuri tubuh ibu.. Perasaanku campur aduk, untung teralihkan kala bungsuku si Vanessa masuk dan mengusap lengan ibuku “Oma sakit?” tanyanya dengan wajah lugu. Mata tua itu terbuka perlahan dan nampak seulas senyum di bibirnya. “Oma sedang di pijat mama Vanes” jawab ibuku.
Matanya bersinar. Ada pancaran optimis di sana bagai nyala pi yang turut membangun semangatku untuk terus berbakti dan melayaninya. Tuhan beri aku kesempatan lebih panjang untuk menunjukkan cintaku pada ibu. Doaku dalam hati. Kegiatan memijat hari ini, memberi pemahaman baru bagiku akan arti cinta kasih dan pengorbanan seorang ibu.
(Icha Koraag)

Tidak ada komentar: