Jumat, 30 Januari 2009

Membendung Retail Raksasa Masuk Kampung

Cover GATRA Edisi 12/2009 (GATRA/Tim Desain)
Pertumbuhan retail modern bak deret ukur. Retail modern, yang dulu terpusat di kota besar, kini memang mulai merambah kota kecil. Tengok saja kota Tasikmalaya di Jawa Barat. Di kota yang luasnya hanya 171 kilometer persegi ini telah berdiri sembilan supermarket dan 13 minimarket. Plus satu hypermarket, yaitu Giant yang berada di dalam kompleks perbelanjaan Mayasari Plaza. Sebelum berubah wujud menjadi pusat belanja modern, lokasi ini adalah pasar tradisional.

Berdasarkan survei Nielsen, jumlah pasar tradisonal pada tahun 2000 masih 78,3% dari total pasar. Namun, pada 2005, jumlahnya menurun menjadi 70,5%. Bahkan pada tahun lalu diperkirakan jumlah pasar tradisional berkurang menjadi hanya 65% dari total jumlah pasar di Indonesia.

Data tambahan dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia juga membuat miris. Pada tahun lalu, sebanyak 4.707 pasar tradisional atau sekitar 35% dari total pasar tradisional yang ada di Indonesia ditinggalkan pedagang, karena pasar tradisional kalah bersaing dengan retail modern di lokasi yang sama.

Alhasil, jumlah pedagang tradisional pun terus turun. Pada 2007, jumlah pedagang pasar tradisional sebanyak 12,625 juta dan tahun ini menjadi 11 juta orang. Sedangkan jumlah pedagang kaki lima meningkat dari 11 juta menjadi 14 juta pada 2008.

Padahal, di sisi lain, lanjut Gunaryo, pasar retail modern di Indonesia sangat menarik bagi investor asing. Dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, perputaran bisnis retail pun bisa mencapai ratusan trilyun rupiah per tahun. "Kami ingin menjaga jangan sampai pasar ini diambil asing semua," kata Gunaryo.

Maka, meski pemerintah masih membuka peluang bagi asing untuk masuk ke bisnis retail, peluangnya dibatasi hanya untuk hypermarket dan department store dengan luas diatas 2.000 meter persegi. Sedangkan retail modern dengan skala lebih mungil, seperti minimarket, supermarket, dan department store biasa, terlarang dimiliki pemodal asing.

Pasar tradisional masih dominan dengan pangsa pasar 65%. Tapi turun tajam dari kisaran 80% pada awal milenium kedua. Untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional, diperlukan peran aktif pemerintah daerah dalam pendanaan. Pada tahun ini, Departemen Perdagangan akan mengalokasikan dana Rp 250 milyar untuk revitalisasi pasar tradisional.

Lebih jauh, Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Gunaryo, menjelaskan bahwa pedoman teknis berbisnis retail itu diperlukan untuk menahan laju pasar modern yang berlari kencang. "Sementara kami buat cara agar yang tradisional tetap bisa hidup. Sebab, kalau head to head, dapat dipastikan pasar tradisional akan kalah bahkan tergerus oleh pasar modern," kata Gunaryo.

Menurut pandangan pendiri Grup Sido Muncul, Irwan Hidayat, baik pasar modern maupun pasar domestik dibutuhkan. Keberadaannya jangan sampai saling mematikan. Yang perlu diperhatikan adalah zonasi. Pasar modern hanya untuk kota-kota tertentu dan zonasinya diatur. "Keberadaannya tidak boleh menghilangkan atau mematikan outlet-outlet tradisional, grosir-grosir pasar, dan pedagang-pedagang eceran di kampung," kata Irwan.

Dalam situasi krisis seperti ini, lanjut Irwan, yang harus dilakukan pemerintah adalah mengembangkan dan melindungi pasar domestik. Menurut dia, yang termasuk pasar domestik adalah produk, produsen, dan outlet. Meskipun tidak harus menggunakan produk Indonesia, "Tetap saja tugas utama pengusaha Indonesia adalah membuat produk berkualitas sehingga bisa bersaing sampai di tingkat global," ujarnya.

Astari Yanuarti, Syamsul Hidayat, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 12 Beredar Kamis, 29 Januari 2009]

Tidak ada komentar: