Jakarta, Kompas -  Cuaca ekstrem, badai tropis yang semakin sering, dan pergeseran musim merupakan  fenomena terjadinya perubahan iklim. Munculnya fenomena tersebut di  
Ketua Program Studi Meteorologi Institut  Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, yang dihubungi Minggu (15/2) di Jakarta,  menegaskan, ”Itu sudah merupakan implikasi dari pemanasan global dan merupakan  indikasi perubahan iklim.”
Pemanasan global, kata Armi, telah  menyebabkan semakin tidak meratanya pola temperatur dan tekanan udara secara  spasial (ruang). Perbedaan temperatur terjadi antara daerah subtropis dan daerah  tropis, juga di daerah subtropis atau daerah tropis sendiri yang mengakibatkan  terjadinya pergerakan udara. Semakin tinggi perbedaan tekanan udara akibat  perbedaan temperatur semakin kencang angin yang ditimbulkannya dan dapat  melahirkan badai pada lintang tertentu. Perbedaan temperatur yang ekstrem dapat  memicu munculnya cuaca ekstrem.
Perhitungan musim tanam dan musim melaut  tidak lagi presisi. Bencana pun selalu datang baik pada  musim kemarau maupun pada musim hujan.
Terjadinya perubahan iklim ditegaskan  dengan hasil analisa yang telah dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan  Geofisika (BMKG) dari pengolahan data yang diambil selama 50 tahun. Kepala  Bidang Analisa Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG Soetamto, Jumat lalu di  Jakarta, mengungkapkan, ”Ini untuk melihat kecenderungan yang ditunjukkan  sebagai dampak perubahan iklim.”
Analisis tersebut menghasilkan lima peta  kecenderungan periode 1951-2000 yang dikategorikan sebagai dampak perubahan  iklim di Indonesia. Peta itu meliputi perubahan panjang musim, permulaan musim  hujan, permulaan musim kemarau, curah hujan pada musim hujan, dan curah hujan  pada musim kemarau.
Indikasi lainnya adalah meningkatnya  intensitas siklon tropis yang menyebabkan gelombang tinggi. ”Siklon tropis di  Samudra Hindia rata-rata setiap tahun terjadi 7-8 kali dalam rentang waktu lima  bulan dari November sampai Maret. Jarang sekali mengumpul seperti empat siklon  Charlotte, Dominic, Ellie, dan Freddy dalam masa kurang dari satu bulan,” kata  Mezak Arnold Ratag, dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut  Teknologi Bandung, Sabtu.
Empat siklon tropis itu terjadi dalam  jangka waktu 28 hari, antara 11 Januari hingga 7 Februari. Akibatnya, terjadi  gelombang tinggi di perairan Indonesia, mulai dari perairan di barat Sumatera  hingga di sebelah timur Nusa Tenggara.
Dampak perubahan iklim antara lain pulau  tenggelam akibat naiknya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub,  ancaman kekeringan, banjir, ketidakpastian iklim, dan cuaca ekstrem.  Kejadian-kejadian itu secara langsung akan mengancam penghasilan dan kehidupan  nelayan, masyarakat pesisir, dan petani karena berdampak terhadap menurunnya  produktivitas pertanian. Secara nasional, kondisi ini dapat mengganggu ketahanan  pangan.
Nelayan  bangkrut
Semakin seringnya terjadi gelombang  tinggi akibat badai tropis, nelayan kini terlilit utang karena mereka praktis  tidak berpenghasilan atau penghasilan mereka turun drastis. Mereka terpaksa  beralih profesi menjadi penarik becak, buruh tani, kuli angkut, tukang batu,  atau menganggur di rumah membantu istri. Mereka antara lain berada di Lamongan,  Gresik, Jember, di Provinsi Jawa Timur, dan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara  Barat, serta Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, juga di sejumlah daerah di  Sumatera Utara.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Nelayan  Seluruh Indonesia Cabang Lamongan Sudarlin kondisi saat ini sungguh berbeda  dengan 10 tahun lalu. Saat ini cuaca semakin susah diprediksi. ”Kelihatannya  biasa saja, ternyata di tengah laut gelombangnya besar dan angin kencang,”  katanya.
Dari 7-10 hari melaut hanya 2-3 hari  efektif untuk menangkap ikan dan hasilnya pun turun drastis. ”Di tempat  pelelangan ikan di Brondong. Dulu paling tidak sehari bisa dibongkar 100 ton  hingga 200 ton sehari, kini hanya 10 ton-20 ton saja,” katanya. ”Saat paceklik  ikan dan cuaca buruk banyak nelayan menggadaikan perhiasan emas, barang  elektronika, dan surat kendaraan bermotor, hingga mereka terjerat utang ke  rentenir,” kata Sudarlin.
Di Jember, sejumlah 15.225 orang nelayan  menganggur, dengan jumlah perahu 1.865 unit.
Selain terjerat utang dan kehilangan  penghasilan, nelayan juga mempertaruhkan nyawanya saat  melaut.
Hingga Kamis dua nelayan asal Lamongan,  Miftahul Arif (19) dan Febriyanto (25) yang melaut 29 Januari lalu belum juga  ditemukan. Kisah tiga nelayan Sungairujing, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean  yaitu M Syafi'i (27), M Syahrul (27), dan Ridah (64) tak beda jauh.  Sudah dua hari lewat mereka tak kembali. Diduga perahu mereka terbalik diempas  ombak. Cerita serupa terjadi di berbagai tempat.
Menurut Guru Besar Oceanografi Institut  Teknologi Bandung, Safwan Hadi, Oceanografi ITB mencatat ada 16 daerah di pantai  selatan Jawa yang rawan terkena gelombang badai pasang.
Daerah itu antara lain Nusakambangan  (Jawa Tengah), Palabuhan Ratu (Jawa Barat), Pamengpeuk (Jawa Barat), Manjungan  (Jawa Tengah), Pananjung (Jawa Barat), Pacitan (Jawa Timur), dan Tanjung Pelindu  (Jawa Timur). Selain itu juga berpotensi terjadi di Karang Taraje (Jawa Barat),  Tanjung Purwa (Jawa Timur), dan Tanjung Tereleng (Jawa  Barat).
Pulau  tenggelam
Ketua Jurusan Geografi Lingkungan  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Junun Sartohadi mengatakan, dengan garis  pantai sepanjang 88.000 Kilometer dan 17.500 pulau, Indonesia sangat rawan  dengan naiknya permukaan air laut. Pulau-pulau berketinggian satu meter di atas  permukaan laut terancam tenggelam-jumlahnya diperkirakan mencapai  ratusan.
Menurut dia, dampak kenaikan permukaan  air laut di Indonesia terlihat dengan meningkatnya intensitas dan frekuensi  banjir di kota pesisir seperti Semarang, Surabaya, dan  Jakarta.
Salah satu penelitian yang pernah  dilakukan di Kota Semarang menunjukkan, saat ini rob semakin jauh memasuki  daratan atau maju beberapa kilometer dari garis pantai.
Dalam lima tahun terakhir, di Jawa Timur  terdapat lima pulau kecil terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.  Sejumlah pulau di Kabupaten Sumenep, Madura terancam tenggelam. Pulau-pulau itu  adalah Pulau Gili Pandan, Pulau Keramat, Pulau Salarangan, dan Pulau Mamburit.  Pulau Gresik Putih telah hilang sejak 2005.
"Luas Pulau Gili Pandan awalnya 1  kilometer persegi, sekarang tinggal 100 meter persegi, Pulau Keramat semula 700  meter persegi kini tinggal 50 meter persegi. Sedang Pulau Gresik Putih yang  luasnya 500 meter persegi tak lagi tampak sejak tahun 2005," ucap Ketua Forum  Masyarakat Kelautan dan Perikanan Jawa Timur Oki Lukito di  Surabaya.
Sementara itu Armi menegaskan, perubahan  iklim juga mengakibatkan terjadinya pergeseran musim hujan dan musim kemarau.  ”Musim hujan semakin pendek tetapi intensitas hujannya amat  tinggi.”
Kondisi itu menimbulkan masalah air kian  parah. Kepala Desa Luwung, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Ahmad Kosasih,  mengakui, 20 tahun terakhir kondisi lingkungan menurun drastis. Desanya krisis  air setiap kali kemarau.
Sementara di musim penghujan, banjir melanda persawahan di pesisir. Mu'in (45), petani dari Desa Singakerta, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu bahkan harus menanam ulang hingga tiga kali pada musim tanam penghujan 2008
Information From
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar