Minggu, 26 Juni 2011

Spiritualitas Bisnis


Oleh: A.M. Lilik Agung
Fenomena menarik yang akhir-akhir ini kita saksikan bersama adalah gairah para eksekutif bisnis untuk mengkaji nilai-nilai agama. Tempat-tempat ibadah dipenuhi para eksekutif. Kantor-kantor – tak peduli kantor
perusahaan lokal maupun multi nasional – membuka diri bagi eksekutifnya untuk mengembangkan dan mendiskusikan ajaran agama. Malah tidak sedikit para eksekutif menjadi aktivis ‘gerakan-gerakan’ ritual agama yang kini menjadi trend kembali, seperti tassawuf, sufi, karismatik bahkan New Age.
Maraknya para eksekutif kembali kepada ritual-ritual agama harus dipahami sebagai sebuah ekpresi kerinduan mereka untuk mengintegrasikan nilai-nilai etis, moral dan spiritual ke dalam lingkungan bisnisnya yang cenderung sekuler, ering dan materialistik. Memang pendapat minor mengemuka bahwa eksekutif mendalami ritual agama hanya sekedar topeng – terbukti dengan maraknya korupsi, manipulasi dan kolusi di
negeri ini – memang tidak seluruhnya dapat ditepis. Pertumbuhan tempat ibadah yang ekuivalen dengan pertumbuhan aktivitas korupsi, tak pelak menjadi ironi tersendiri di tengah keinginan untuk memperbaiki moral warga negara. Terlepas dari hukum paradoksal tersebut, gairah para eksekutif untuk mempelajari nilai-nilai agama patut untuk dicermati.
Ada dua pertanyaan yang muncul untuk mengkritisi fenomena ini. Apakah gairah tersebut cenderung sekedar mengikuti trend yang kelak akan hilang sendiri seperti trend dunia mode yang silih berganti? Atau lantaran para eksekutif muak melihat praktek bisnis di tanah air yang selama ini pekat dengan aroma KKN dan mereka ingin memasukkan unsur-unsur etika dalam berbisnis? Kalau yang muncul kepermukaan adalah pertanyaan pertama, maka pendapat minor tentang budaya topeng seperti tertulis di atas mendapat legitimasi. Sementara bila yang mencuat alasan kedua, maka kita patut bersyukur. Para eksekutif yang diyakini sebagai agen perubahan, menjadi motivator untuk menciptakan good corporate governance.
Untuk sementara gairah eksekutif mendalami ritual agama kita pahami sebagai minat para eksekutif untuk mengembangkan bisnis yang berbasis moral dan profesional. Setelah lama dikungkung oleh budaya kerja yang menjauhkan diri dari nilai-nilai profesional, para eksekutif mulai membangun diri pribadinya dengan nuansa spiritual yang kelak mewarnai bisnis yang digelutinya. Dalam wacana kekinian, etos baru eksekutif ini disebut sebagai spiritualitas bisnis. Spiritualitas bisnis, seperti dari namanya, dibangun dari dua buah kata; spiritualitas dan bisnis. Spiritualitas sendiri menurut kamus Webster artinya attachment to religious values atau dapat pula berarti the state of being spiritual. Dalam komunitas kami, spiritualitas kami artikan sebagai rangkaian proses transendensi kehidupan hingga lebih berkarakter spiritual.

Berkarakter spiritual artinya mampu mentransendensikan materi. Nilai-nilai materi sudah melampui batas-batas normal menjadi nilai-nilai yang berkualitas non materi (spiritual) tanpa harus kehilangan karakter materinya. Jadi dalam konteks ini, karakter spiritual tida menentang atau mengharamkan materi.
Materi tetap diperlukan. Hanya saja materi tidak terbatas pada wujudnya, namun sudah bermain dalam tataran nilai spiritual, keadilan, dan kegunaan.
Transendensi yang artinya melampui batas-batas normal atau melampui pengetahuan biasa, memang menjadi kata kunci dari spiritualitas. Orang-orang yang memiliki spiritualitas dengan demikian orang-orang yang sudah mampu melakukan transendensi (pelampuan) terhadap batas-batas materi, ruang, waktu, lokalitas, pengetahuan dan pengalaman yang serba biasa, tanpa harus kehilangan karakter ‘biasa-nya’ itu. Dalam kaitan ini maka spiritualitas sekaligus mengandung makna menuju pada integrasi (kepaduan) dan holisme (keutuhan).
Juga boleh dikatakan lawan dari spiritualitas adalah reduksionisme dan sektarianisme.
Spiritualitas bisnis dengan demikian merupakan proses transendensi untuk membentuk lembaga bisnis melampui pengertian bisnis sendiri seperti yang selama ini dipahami. Spiritualitas bisnis tidak melulu berbicara tentang profit, transaksi, manajemen, akunting dan strategi, namun juga mempersoalkan pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, lingkungan hidup dan keadilan. Spiritualitas tidak lagi terkungkung oleh atuan-aturan formal yang malah memberi pelung untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturanaturan moral, etika, dan kemanusian yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan pengertian ini, utopiakah
spiritualitas bisnis? Atau jangan-jangan spiritualitas bisnis merupakan konsep yang cuma enak diomongkan di ruang seminar sementara untuk beroperasi di lapangan kedodoran?
Menarik untuk disimak corporate culture yang di kembangkan oleh perusahaan Electronic Elite. Dalam Wisdom of the Electronic Elite dijelaskan bahwa dewasa ini terjadi pemahaman-pemahaman yang meluas (baca : transendensi) dalam dunia bisnis sebgai berikut :
1. Bisnis adalah ekosistem; bukan medan perang
2. Perusahaan adalah komunitas; bukan mesin
3. Manajemen adalah pelayanan; bukan kontrol
4. Manajer adalah coach; bukan mandor
5. Karyawan adalah sejawat; bukan pembantu
6. Motivasi datang dari visi; bukan rasa takut
7. Perubahan adalah pertumbuhan; bukan penderitaan.
Memperhatikan corporate culture Electronic Elite, sudah pantas kalau kita menyebut perusahaan ini menjalankan spiritualitas bisnis. Corporate culture ini sekaligus contoh ‘duniawi’ menjadi ‘spiritual’ Coba kita simak corporate culture yang pertama, bisnis adalah ekosistem; bukan medan perang.
Selama ini yang kita pahami dan kebetulan didukung oleh literatur-literatur, bisnis dikenali sebagai medan perang. Berbisnis artinya berperang. Dengan logika ini mnejadi wajar bila persaingan sebagai bentuk peperangan yang mana perusahaan satu harus membunuh perusahaan lain. Medan perang tidak kenal moral (a moral). Segala sesuatu boleh dilakukan. Ketika kompetisis bisnis berubah menjadi medan perang, akhirnya segala cara dipergunakan. Akibatnya pelaku bisnis kecil terlindas pebisnis besar, konsumen dirugikan dan alam dirusak tanpa ampun. Sebaliknya akan terjadi bila bisnis dipahami sebagai ekosistem. Di dalam ekosistem tidak ada yang menindas dan yang tertindas. Yang besar tidak memangsa yang kecil. Semua saling membutuhkan dan melengkapi. Keberlanjutan dan keseimbangan menjadi prioritas. Ketika bisnis dipahami sebagai ekosistem, yang terjadi adalah keseimbangan antara pebisnis besar dan pebisnis kecil. Lembaga bisnis merupakan bagian dari masyarakat yang tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat. Stakeholders, yaitu pemerintah, konsumen, pemegang saham, manajemen dan karyawan saling terkait secara interdependen dan sinergik. Corporate culture yang dimiliki Electronic Elite layak bila kita sebut sebagai paradigma baru dunia bisnis. Paradigma baru ini memang kental dengan nuansa spiritual. Namun itulah kenyataan yang tidak bisa kita elakkan. Studi Prof. Collin dan Prof. Porras melalui buku spektakulernya ‘Built to Last’ dan dilanjutkan lewat buku ”Good to Great” menyebutkan perusahaan-perusahaan yang berumur puluhan tahun dan sampai detik ini menjadi market leader penuh nuansa spiritual di dalam visi, misi, maupun core value-nya.
Seperti misal core value General Electric “Improving the quality of life through technology and innovation.” Merck “We are in the business of preserving and improving human life” Procter &
Gamble “Honesty and fairness.
Maka tidak terlalu mengejutkan jika kita berpendapat bahwa rahasia kesuksesan organisasi sesungguhnya terletak pada kekuatan spiritualitasnya. Tanpa spiritualitas, tanpa roh, maka organisasi akan cepat mati. Dalam upaya maha besar memulihkan ekonomi republik tercinta, yang juga berarti membangun kembali vitalitas dunia bisnis kita, maka spiritualitas bisnis merupakan sebuah keharusan. Pada aras lain, untuk menjaga keutuhan republik ini agar tidak dipahami disintrgrasi (baca : kematian) maka spiritualitas dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara patut pula dianggap sebagai sentral dari usaha tersebut. Akhirnya, selamat menjalankan spiritualitas bisnis. 

Cheers,
Soleh Sugianto

Jika ada yang  mau komen silahkan..? kita share saja

Tidak ada komentar: