Senin, 01 Desember 2008

Bagaimana Cara Mendapatkan Dorongan Yang Kuat?

Jika Anda perhatikan di sekeliling, saya yakin Anda akan menemukan sejumlah orang yang berprestasi tinggi, dan menjadi teladan buat orang sekitarnya. Di kantor misalnya, mungkin Anda akan berjumpa dengan seorang general manager yang cakap dan pintar membawa diri. Banyak bawahannya yang berkata, "Bos kita itu punya karakter kuat". Di kantor sebelah, Anda juga mendapati seorang muda, umurnya baru 34 tahun tapi sudah menduduki singgasana paling top. Sehingga semua orang menyebutnya, "Si anak hebat".

Apanya sih yang hebat? Tampaknya mereka mempunyai motivasi yang kuat, sehingga mampu menjelma menjadi manusia-manusia hebat. Tanpa itu, mustahil seseorang bisa menunjukkan kehebatannya. Di arena olahraga misalnya, seorang Alan Budikusuma dan Susi Susanti begitu perkasa di ajang Olimpiade Barcelona 1992 lalu, karena dorongan kuat mengharumkan nama bangsa. Padahal di arena selain olimpiade, Alan dan Susi masih sering kalah dari pemain Tiongkok.

Lalu bagaimana cara mendapatkan dorongan yang kuat? Apakah karena sudah bertemu dengan Anthony Salim (Motivator No.1, bukan Anthony Robin), maka kita memiliki dorongan kuat? Pernahkah melihat orang-orang seperti Eka Cipta Wijaya (masih ingat bos Sinar Mas?) atau Teguh Ganda Wijaya, atau Henry Katuari, atau Harry Tanusudibyo berbicara? Mereka begitu penuh percaya diri, seakan-akan semua orang di dunia ini dikuasainya. Setiap bait katanya, tidak pernah menunjukkan keraguan. Apakah bisa mereka memberikan dorongan yang kuat buat Anda?

Darimana datangnya dorongan yang kuat? Mengapa ada orang yang tidak pernah terlihat ragu-ragu? Setiap manusia memiliki dua elemen, yaitu badan dan jiwa. Ingat pepatah, di dalam badan yang sehat terkandung jiwa yang kuat. Setiap tindakan fisik seseorang akan terasa hampa tanpa dukungan jiwanya. Maka, seringkali seorang pria mengatakan, "Aku mencintaimu sepenuh jiwa", kepada kekasihnya. Jiwalah yang sesungguhnya memberi nilai pada setiap aksi badan manusia. Jiwa yang juga berarti hati nurani, memberi setiap manusia semangat hidup yang sesungguhnya, untuk menghadapi dunia.

Coba Anda pikir, buat apa seorang Mother Theresa, repot-repot menolong gelandangan yang sekarat. Mau diapakan sih gelandangan itu? Tidak berguna, susah-susah diurusin nanti mereka mati juga. Tapi dia terus menerus membantu kaum papa, yang sebenarnya tidak memberikan keuntungan materi apapun buatnya. Padahal Mother Theresa bisa saja menjadi suster kepala seluruh sekolah di India. Dia juga punya kans menjadi pejabat tinggi di sana. Tapi jiwa Mother Theresalah yang bekerja, dan menolong gelandangan tak berdaya. Jiwa Mother Theresa bisa menyatu dengan jiwa para gelandangan, jiwa yang malang. Sehingga jiwa-jiwa itu tidak lagi sendirian, melainkan berkolaborasi dan membentuk semangat baru.

Saya salut kepada Anda, yang sekarang sudah menduduki jabatan tinggi, apakah group product manager, atau general manager atau bahkan president director. Tapi apakah jabatan itu badan atau jiwa yang melakukan? Pernahkan Anda memikirkan jiwa? Boleh saja Anda bangga, "Saya ini GM lho", atau "Aku ini presdir!". Tapi pernahkah Anda berbincang dengan jiwa Anda? Berakrab-akrab dengan hati nurani? Kalau pernah, atau bahkan sering, saya yakin, bangsa ini akan bersih dari kebohongan, dari korupsi, dari pengkhianatan atau dendam.

Saya harap Anda tidak lagi semakin jauh dengan hati nurani. Kasihan dia, kesepian di pojok tubuh paling dalam. Lama kelamaan, dia akan semakin menjauhi badan. Malang benar nasib hati nurani. Dicuekin. Boro-boro diurus atau dipelihara, diajak bicara atau berunding saja tidak pernah. Poor you, jiwa!

Jadi, agar Anda selalu mendapatkan dorongan yang kuat, seperti Alan dan Susi pada saat bertanding di Olimpiade, atau seperti Mother Theresa, mintalah pada hati nurani, pada jiwa Anda. Jadikanlah hati nurani sebagai pedoman mengarungi samudera luas kehidupan ini. Sehingga Anda menjadi yakin, merasa bebas, dan selalu punya pedoman. Tidak terombang-ambing oleh gelombang jaman dan sebaliknya Anda bisa senantiasa tersenyum serta berkata lemah lembut. Tidak perlu lagi menggebrak-gebrak meja sambil berteriak "Ini aku punya pistol!". Tapi cukup dengan berkata, "Ini jiwaku, mana jiwamu?".

Tidak ada komentar: